Minggu, 21 Agustus 2016

Relasi Maqasid Syari’ah Dengan Terminologi Ushul Fiqih

Click Here!  
  Setelah memahami relasi antara maqasid syari’ah dengan al adillah as syar’iyah (dalil syar’i) baik yang disepakati maupun yang diperdebatkan, kita juga sebaiknya memahami relasi antara maqasid syari’ah dengan beberapa istilah-istilah ushul fikih, hal ini –menurut Nuruddin Al Khadimi- agar memperjelas posisi saling menyempurnakan dan menyelaraskan di antara keduanya, suatu hal yang selalu menjadi sorotan dalam bangunan hukum syari’at.[1]

   Dalam makalah ini akan dibahas mengenai hubungan maqasid syari’ah dengan 6 (enam) istilah-istilah ushul fikih, yaitu: al hikmah, al illat, as sabab, ar rukhsoh, al bid’ah dan al hilah. Semestinya, jika mengikuti apa yang diyakini oleh Abdullah Bin Bayyah dalam bukunya “Ilaqat Al Maqasid As Sryar’iyah Bi Ushul Al Fiqh”, relasi ini mencapai 20 istilah.[2]

                                          1-  Relasi dengan Al Hikmah

   Menurut Ahmad Raisuni, al maqasid dengan alhikmah maknanya sinonim. Keduanya digunakan untuk menunjukkan makna maqsad as syar’i (tujuan syari’at), sebagaimana diucapkan: “tujuannya begini…..” atau “hikmahnya begini…..” Walaupun pada aplikasinya, para ulama fikih lebih menggunakan istilah al hikmah daripada al maqsad.[3]

   Al Wansyarisi Al Maliki berkata: “kata al hikmah dalam terminologi para pakar hukum Islam, bermakna tujuan dari penetapan atau peniadaan satu hukum”.[4]
  Dalam hal ini, Ibnu Farhun memperkuat statemen di atas dengan memberikan sebuah contoh: “hikmah dari pengadilan adalah menghapus monopoli hukum, mengembalikan hak kepada pemiliknya, meminimalisir kedzaliman, menolong orang yang didzalimi dan menyelesaikan perselisihan” [5]
    Al hikmah di sini jelas bermakna al maqsad.
Click Here!
Relasi ini akan semakin gamblang, pada saat kita membaca definisi istilah al hikmah yang disampaikan oleh Abdul Wahab Khallaf, ia berkata: “hikmah dari suatu hukum adalah kemaslahatan yang dijadikan tujuan oleh as syari’” . [6]

                                             2-  Relasi dengan Al Illat

    Al Illat adalah istilah yang memiliki banyak arti, di antaranya: “sifat yang jelas, terdeteksi, yang menjadi gantungan suatu hukum, jika sifat itu ada maka hukum pun ada, dan jika tidak ada, hukum pun tidak ada”. [7]
     Adapun makna asal dari istilah Al Illat -sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Raisuni- adalah ungkapan lain dari tujuan syari’ [8] Dengan demikian, sebagaimana kata al hikmah, istilah Al Illat pun sinonim dengan istilah al maqsad.
Contoh konkrit dari statemen di atas, raf’u al haraj (menghilangkan kesulitan) dalam permasalahan rukhsoh (lisensi), ia adalah hikmah dan tujuan, dan pada saat yang sama ia juga illat (motif) yang sebenarnya. Akan tetapi raf’u al haraj (menghilangkan kesulitan) adalah sesuatu yang tidak terdeteksi, maka dari itu, fuqoha’ menggantungkan hukum rukhsoh pada sebab dan illat yang jelas terdeteksi, seperti bepergian, sakit, tidak mampu dan keadaan darurat. [9]
    Jika istilah Al Illat tidak diartikan dengan devinisi di atas, maka menurut –Nuruddin Al Khadimi- bahwa Al Illat adalah gantungan suatu hukum, dan hukum kerap dibarengi dengan al maqsad (tujuan), dengan demikian –secara tidak langsung- ia adalah gantungannya al maqsad (tujuan). Contoh konkritnya, memabukkan adalah illat (motif) diharamkannya minuman keras, hukum haram ini adalah jalan untuk menjaga fungsi akal.[10]

                                         3-  Relasi dengan As Sabab

        Abu Ishak As Syatibi berpendapat: “terkadang kata as sabab memiliki arti sinonim dengan al illat, karena ikatan erat keduanya, sehingga keduanya tidak memiliki perbedaan makna”.[11]
Kalau demikian adanya, maka as sabab juga sinonim dengan istilah al hikmah, dan ar rukhsoh, Abdullah Bin Bayyah menegaskan: arti maqasid syari’ah berkisar (sinonim) pada makna istilah al illat, al hikmah dan as sabab, walau dalam kondisi tertentu istilah-istilah tersebut berbeda” [12] Para fuqoha kadang mengungkapkan “hukum ini disyari’atkan karena sebab……….”, atau “karena illat……..”, atau ‘karena hikmah………..”.[13]

Click Here!
                                       4-  Relasi dengan Ar Rukhsoh
  
         Devinisi ar rukhsoh adalah: “hukum pengecualian, karena adanya udzur syar’i” [14]  Di antara contohnya adalah hukum jama’ dan qoshor sholat dalam perjalanan, hukum berbuka puasa di bulan Ramadlan karena sakit dan hukum diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang haram pada saat tidak ditemukan obat lain.
     Hubungan ar rukhsoh dengan maqasid syari’ah bisa dilihat dari pengklasifikasiannya sesuai hirarki al maqasid berupa dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder), tahsiniyat (tersier)
Contoh ar rukhsoh katagori dharuriyat (primer), seperti diperbolehkannya memakan bangkai dan makanan haram pada saat dalam kondisi darurat. Katagori hajiyat (sekunder), seperti diperbolehkannya akad as salam (pesanan) dan melihat kepada calon isteri saat meminangnya. Dan katagori tahsiniyat (tersier), seperti diperbolehkannya memakai kain sutera bagi kaum pria yang menderita  penyakit kulit. [15]

       Ibnu Rusyd berkata:”sesungguhnya ar rukhsoh menunjukkan arti meringankan, menghilangkan kesempitan dan menghindari kesulitan” [16]
      Dengan demikian, maka menghapus ar rukhsoh atau tidak menghiraukannya –terutama pada kasus rukhsoh level dharuriyat- berarti bertentangan dengan maqasid syari’ah, karena meringankan, menghilangkan kesempitan dan menghindari kesulitan adalah bagian dari maqasid syari’ah.

                                           5-  Relasi dengan Al Bid’ah

       Sesuatu yang baru dalam ajaran Islam, tidak pernah terjadi atau tidak ada persepadanan di zaman Rasulullah adalah bid’ah. Untuk menjelaskan problematika al bid’ah secara komprehensif, Abu Ishak As Syatibi menyusun buku yang diberi judul “Al I’tisham”, sebuah buku tentang bid’ah dengan barometer maqasid syari’ah.
Pertanyaan yang patut dilontarkan di sini adalah: apakah ada relasi antara al maqsad dengan al bid’ah? Apakah al bid’ah sejalan dan menguatkan al maqsad atau bahkan berbenturan dan meruntuhkannya?
     Nuruddin Al Khadimi menjawab pertanyaan –pertanyaan di atas bahwa “sesungguhnya bid’ah datang menyalahi hukum, teks dan kaidah syari’ah, sedangkan maqasid syari’ah merupakan barometer dari hukum, teks dan kaidah tersebut” [17] 
      Dengan demikian, maka keduanya saling bertentangan dan tidak ada relasi kecuali hanya sebatas keberadaan al maqsad sebagai barometer untuk menentukan suatu hal termasuk al bid’ah  atau bukan…
    Sebagimana kita fahami, bahwa bid’ah –dalam bab ibadah- adalah inovasi ritual yang tidak pernah dilakukan atau tidak ada persepadannya di zaman Nabi, serta tidak berada dalam lingkup makna universal teks-teks syari’at. Sedangkan maqasid kubro (tujuan utama) dari ibadah adalah merealisasikan makna patuh dan ta’at kepada Allah SWT, dengan melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh syari’at.

                                      6-  Relasi dengan Al Hilah

    Di dalam kamus ilmiyah ditegaskan: “melakukan sesuatu yang diperbolehkan menurut perspektif syari’at, untuk mencapai sesuatu yang tidak diperbolehkan menurut syari’at adalah makna al hilah”.[18]
    Pada hakikatnya makna al hilah adalah bermakna al wasilah, dan hukum al wasilah tergantung al maqsad (tujuan), untuk itu, dalam literatur fikih, al hilah memiliki dua katagori sbb: [19]
Pertama al hilah al mubahah (yang diperbolehkan), contohnya menghindari kewajiban membasuh kaki saat berwudlu dengan cara menggunakan al khouf (kaos kaki dari kulit hewan) dan menggugurkan kewajiban zakat –saat sudah mencapai nishob- dengan mengalokasikan uangnya untuk biaya berangkat haji. [20]
   At Thohir Ibnu Asyur berpendapat: “al hilah ini hukumnya boleh, karena hakikatnya adalah perpindahan dari satu hukum ke lainnya, maka saat satu tujuan tidak jadi didapatkan, ada tujuan lain yang dihasilkan”.[21]

     Kedua, al hilah al muharromah (yang dilarang), seperti menikah dengan perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan menghalalkannya ke pria yang telah mentalaknya. Jenis al hilah semacam ini diharamkan, karena bertentangan dengan maqasid az zuwaj (tujuan pernikahan).[22]
Dengan demikian, maka relasi antara al maqsad dengan al hilah adalah sebagaimana relasi al wasilah dengan al maqsad, yaitu eksistensi hukum al wasilah tergantung hukum al maqsad.

                                                              Penutup:
  Berbeda dengan relasi antara maqasid syari’ah dengan al adillah as syar’iyyah, di mana hubungannya terfokus pada dua point, yaitu: justifikasi dan barometer. Sebuah dalil syar’i bisa sebagai penguat eksistensi maqasid syari’ah atau bisa juga maqasid syari’ah sebagai barometer bagi sebuah dalil syar’i.

  Sedangkan pada relasi antara maqasid syari’ah dengan beberapa terminology ushul fikih, hubungannya terjadi pada kesamaan makna (sinonim) seperti: al hikmah, al illat, as sabab, dan hubungan barometer seperti: al bid’ah dan al Hilah.

Kata Penutup

Tidak ada gading yang tak retak, tidak ada karya yang sempurna kecuali karya cipta Dzat Yang Maha Sempurna.

Apa yang telah saya paparkan tentang kajian maqasid syari’ah ini, masih “jauh panggang dari api”, maka para pembaca yang berminat untuk terus mendalami kajian ini, saya rekomendasikan untuk merujuk literatur maqasid syari’ah, baik yang ditulis oleh para ulama klasik maupun kontemporer, agar bisa memperluas pemahaman tentang kajian ini.

Ada beberapa kitab terkait maqasid syari’ah yang perlu ditela’ah -sebagai kelanjutan dari panduan dasar ini-, seperti: kitab Al Burhan karya Imam Al Juwaini, kitab Al Mustashfa karya Imam Abu Hamid Al Ghazali, kitab Qowa’id Al Ahkam Fi Masholih Al Anam karya Imam Al Izz Bin Abd. Salam, kitab Al Muwafaqat karya Imam Abu Ishak As Syatibi, kitab I’lam Al Muwaqi’in karya Ibn. Al Qoym, kitab Mahasin As Syar’iyah karya Al Qoffal As Syasi, kitab Maqasid As Syar’iyah Al Islamiyah karya Syaikh Muhammad At Thohir Bin Asyur, kitab Al Maqasid As Syar’iyah Wa Makarimuha karya Syaikh Alal Al Fasi, dll.

Dengan demikian, semoga tulisan singkat ini bisa menjadi batu loncatan untuk memaqmi kajian maqasid syari’ah secara komprehensif.

Wallahu Al Muwaffiq ila Aqwam At Thoriq





[1] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 72
[2] Ilaqat Al maqasid As Syar'iyah Bi ushul Al Fiqh, Abdullah Bin Bayyah, hlm. 99
[3] Nadzariyat Al Maqasid Inda As Syatibi, Ahmad Raisuni, hlm. 9
[4] Al Mi'yar, Al Wansyarisi, hlm. 1/349
[5] Tabshirat Al Hukkam, Ibnu Farhun, hlm. 1/8
[6] Masadir Al Tasyri' Al Islami, Abdul Wahab Khallaf, hlm. 49
[7] Mu'jam Mushthalat Ushul Al Fiqh, Qoutub Musthafa Sano, hlm. 288
[8] Nadzariyat Maqasid Inda As Syatibi, Ahmad Raisuni, hlm. 10
[9] Ibid, hlm. 10
[10] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 70
[11] Al Muwafaqat, Abu Ishak As Syatibi, hlm. 1/256
[12] Ilaqat Al Maqasid As Syar'iyah, Abdullah Bib Bayyah, hlm. 14
[13] Al ijtihad al Maqasidi, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 9
[14] At Ta'rifat, Al Jurjani, hlm. 150
[15] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 70
[16] Bidayat Al Mujtahid, ibnu Rusyd, hlm. 1/143
[17] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 70
[18] Mu'jam Mushthalah Ushul Al fiqh, Qoutub Musthofa Sano, hlm. 190
[19] Al Muqaddimat, Ibnu Rusyd, hal: 3/39
[20] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 85
[21] Maqasid As Syar'iyah Al Islamiyah, At thohir Ibnu Asyur: 112
[22] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 86
Click Here!

Relasi Maqasid Syari’ah dengan Dalil Syar’i (Bagian 2)

Click Here!    Keberadaan Al Adillah As Syar’iyyah Al Mukhtalaf Fiha (dalil syara’ yang debatable) erat terkait dengan ranah akal. Sebagai contoh, al ihtisan dan al maslahah al mursalah, keduanya adalah dalil yang selalu mengedepankan unsur rasionalitas. Dengan demikian, apakah relasi maqasid syari’ah dengan Al Adillah Al Syar’iyyah Al Mukhtalaf Fiha (dalil syar’i yang debatable) sama seperti relasinya dengan Al Adillah al Syar’iyyah Al Muttafaq Alaiha (dalil syar’i yang disepakati), yaitu hanya sebatas justifikasi dan pengukuhan ? atau relasinya lebih jauh dari sekedar itu ?

                                 Relasi Maqasid Syari’ah dengan Al Adillah Al Mukhtalaf Fiha:

   Dalam sub judul ini akan dibahas relasi maqasid syari’ah dengan dalil Al Maslahah Al Mursalah, Al Ihtisan, Ad Dzara’i Saddan Wa Fathan, Al Urf, Syar'u Man Qablana dan Al Istishab.

1.  Relasi dengan Al Maslahah Al Mursalah

    Ia adalah kemaslahatan yang tidak ditegaskan statusnya oleh teks syari’at (Al Quran dan As Sunnah), apakah boleh dijadikan pertimbangan atau dilarang [1]. Contohnya seperti kemaslahatan dalam kodifikasi Al Qur’an dan kodifikasi Al Hadits. Pada masa sekarang, Nuruddin Al Khadimi menganggap pembuatan akte kelahiran dan sertifikat kematian merupakan bagian dari Al Maslahah Al Mursalah. [2]
   Kemaslahatan-kemaslahatan di atas, sama sekali tidak dijelaskan oleh teks syari’at, tidak diperbolehkan juga tidak dilarang, oleh karena itu hukumnya dikembalikan ranah ijtihad ulama. Ketika ditetapkan sebagai sebagai sebuah kemaslahatan yang boleh diperhatikan, maka ia harus selaras dengan maqasid syari’ah. Menurut Nuruddin Al Khadimi: “harus dalam bingkai maqasid syari’ah dan sesuatu yang dijadikan target olehnya”.[3]
“Pada saat tidak ada dalil teks dan qiyas, maka pengambilan hukum dengan melandaskan pada maqasid syari’ah dinamakan Al Maslahah Al Mursalah” [4]. Seperti yang dilakukan oleh Sahabat Umar RA terkait penjara bagi pelaku kriminal, dan diperbolehkannya memukul tersangka pencuri agar mengakui perbuatannya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Malik RA. [5]
     Namun, sebagaimana maqasid syari’ah ditetapkan melalui penegasan teks berupa Al Qur’an dan As Sunnah, ia pun ditetapkan melalui pelarangan eksplisit teks tersebut, jadi maqasid jangkauannya lebih luas daripada al maslahah al mursalah.[6]

2.  Relasi dengan Al Ihtisan

   Ada beberapa versi terkait devinisi Al Istihsan, sebagian mengatakan bahwa ia adalah: “menggunakan dalil terkuat di antara dua dalil” [7], sebagian mendevinisikan dengan: “menggunakan yang terbaik dari beberapa pendapat dan tindakan” [8], ada juga yang mengartikan dengan: “menggunakan kemaslahatan parsial dalam rangka membandingi dalil global”. [9]

    Di antara contoh Al Istihsan adalah pendapat fuqoha (pakar fikih) yang memperbolehkan melihat wajah perempuan yang akan dipinang, di mana ia disandarkan juga pada hadits Nabi “Pergilah, lihat calonmu, dengan demikian kamu akan mantap dan dapat melanggengkan pernikahanmu” [10], hal ini sebenarnya keluar dari hukum haram melihat perempuan yang bukan muhrim, namun pindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat. Nuruddin Al Khadimi berkata: “dalam hal ini, hukum diperbolehkan, kemaslahatannya lebih besar daripada diharamkan”.[11]

    Pada coontoh kasus di atas, berpindah dari landasan dalil al Qiyas ke Al Istihsan merealisasikan tujuan At Taisir (mempermudah),  At Tausi’ah (memperluas) dan At Takhfif (memperingan).
Abdullah Bin Bayyah menambahkan relasi maqasid syari’ah dengan dalil Al Istihsan, yaitu pada saat teks berskala umum membutuhkan At Takhsis untuk mengeluarkan sebagian dari sesuatu yang dicakupnya, namun pada saat yang sama tidak ditemukan Al Mukhassis (yang mentakhsis) baik berupa teks maupun berupa Al Qiyas (analogi), maka pada kondisi seperti ini, teks umum tersebut bisa ditakhsis dengan maqasid, dan hal ini dianggap sebagai bentuk dari dalil Al Istihsan. [12]

   Sebagai contoh, larangan mengalokasikan zakat kepada keluarga Nabi, ditegaskan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya zakat itu tidak layak dialokasikan kepada keluarga Nabi Muhammad SAW, karena ia merupakan limbah manusia”. Namun madzhab Malikiyyah dan Hanafiyyah mentakhsis umumnya hadits di atas dengan maqasid syar'i (tujuan) dari zakat, yaitu memenuhi kebutuhan orang miskin, maka ketika terdapat keluarga Nabi yang miskin dan tidak bisa terpenuhi kebutuhannya, zakat boleh dialokasikan untuknya.

3.  Relasi dengan Ad Dzara’I Saddan Wa Fathan

     Makna Adz Dzara’i adalah sesuatu yang dijadikan jalan untuk mencapai kepada sesuatu lain, baik halal maupun  haram. Ketika halal maka dibuka dengan istilah Fath Ad Dzara’i, ketika haram maka ditutup dengan istilah Sad Adz Dzara’i. [13]
   Contoh Fath Adz Dzara’i seperti hukum diperbolehkannya meminang –secara implisit- pada seorang perempuan yang masih dalam lingkup masa iddah (masa penantian paska kematian suami), sedangkan contoh Sad Adz Dzara’i seperti pelarangan khalwah (mojok berdua) dengan seorang perempuan yang bukan muhrimnya.[14]

    Relasi dalil ini dengan maqasid syari’ah, bisa dilihat dari beberapa sisi berikut: pertama – bahwa Adz Dzara’i Saddan Wa Fathan, dengan sendirinya dianggap sebagai sebuah tujuan syari’aat, hal ini karena banyak teks Al Qur’an dan As Sunnah yang mengandung makna perintah atau melarang karena melihat konsekuensinya. Kedua, bahwa Adz Dzara’i di anggap sebagai jalan untuk mencapai tujuan, untuk itu hukumnya tergantung hukum tujuannya. [15]
   Untuk merealisasikan dan mencapai pada maqasid syari’ah, perlu memperhatikan Adz Dzara’i (jalan), yaitu dengan menutup atau membuka kran-nya, sesuai dengan Al Ma’alat (konsekuensi). [16]

4.  Relasi dengan Al Urf

   Menurut perspektif fuqoha, Al Urf adalah sesuatu yang dibiasakan oleh komunitas masyarakat, atau meminjam devinisi yang disampaikan oleh Al Jurjani : “sesuatu yang diakui oleh jiwa, dengan penyaksian akal dan penerimaan tabiat”. [17]

   Di antara contoh Al Urf adalah; tradisi Al Mu’atho (jual beli tanpa melalui sighat ijab dan qabul), sebagaimana yang diterapkan di supermarket dan minimarket. Al Urf adakalanya diterima oleh syari’at adakalanya tidak diterima, yang pertama adalah Al Urf yang tidak bertentangan dengan norma-norma syari’at, tidak bertentangan dengan landasan, teks dan maqasidnya. Sedangkan yang kedua adalah yang bertentangan dengan tiga hal tadi. [18]

   Abdul Wahab Khallaf, menganggap Al Urf sebagai tujuan level Al Hajiyat (sekunder), “karena sesuatu yang dibiasakan oleh masyarakat telah menjadi kebutuhan mereka dan kemaslahatannya”.[19]
   Senada dengan statemen Khallaf, Al Bardisi dalam bukunya Ushul Al Fiqh menganggap Al Urf sebagai bagian dari maqsad Raf’u Al Harj (menghilangkan kesulitan). [20]

   Pada intinya, menggunakan Al Urf (Tradisi) yang tidak bertentangan dengan landasan, teks dan maqasid syari’ah dan meninggalkan tradisi yang bertentangan dengan hal-hal tersebut, akan mencapai maqasid (tujuan) yang akan menghasilkan kemaslahatan, mencegah kemafsadatan dan menghilangkan kesulitan.[21]

5.  Relasi dengan Syar’u Man Qablana

   Adalah sejumlah hukum-hukum yang disyareatkan oleh Allah SWT kepada para umat dan bangsa terdahulu, sebelum datang dan diutusnya Nabi Muhammad SAW, seperti  kewajiban puasa di bulan Asyura’, haramnya ghanimah (harta rampasan perang), ibadah kurban, dll.
Apakah hukum-hukum yang telah ditetapkan pada umat terdahulu juga dianggap sebagai bagian syariat Nabi Muhammad SAW ?

   Ada tiga katagori hukum syari’at di sini, yaitu: pertama –dihapus oleh syari’at Islam (tidak dianggap) seperti hukum haram memakan gajih hewan sembelihan dan menjadikan maling sebagai budak orang yang dimalingi, kedua –ditetapkan oleh syari’at Islam (dianggap) seperti prinsip mengesakan Tuhan dan menyembah-Nya, ketiga –tidak ada kejelasan status, katagori ini kemudian menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebagian menganggap sebagian lain menolak.[22]

   Secara umum, maqasid (tujuan ) dari syari’at- syari’at yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad SAW adalah sama, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al Qur’an; “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan); Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu “ (QS. An Nahl: 36) jadi substansi tujuan diutusnya seorang Rasul itu sama, meminjam istilah Ibnu Taimiyah; “Untuk menghasilkan kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan”.[23]

   Nuruddin Al Khadimi memerinci relasi maqasid syari’ah dengan dalil Syar’u Man Qoblana ini sesuai dengan katagorinya, yaitu: pertama- sama dalam maqasidnya, kedua- bertolak belakang maqasidnya, ketiga- membutuhkan selektifitas. [24]

6.  Relasi dengan Al Istishab
Click Here!

  Devinis Al Istishab adalah menetapi perkara yang telah ada sampai datangnya dalil yang meniadakannya atau sebaliknya [25], seperti menetapi hukum berlanjutnya pernikahan seseorang hingga terjadinya talak, dalam keadaan ini, maka kedua pasangan tersebut berhak dianggap sebagai suami isteri yang sah dengan segala keistimewaan dan konsekuensinya.

   Di antara macam Al Istishab adalah: 1- Istishab Al Umum Ila An Ya’tiya At Takhsis (berpegang pada makna umum hingga datangnya sesuatu yang mengkhususkan), 2- Istishab Bara’ati Adz Dzimmah (berpegang pada prinsip bebas dari tanggungan), 3- Istishab Al Ibahah Al Ashliyah (berpegang pada teori hukum adalah boleh).
Adapun relasi maqasid syari’ah dengan dalil Al Istishab, bisa diurutkan sesuai dengan macam Al Istishab di atas, pertama- menghasilkan maqsad universalitas syari’ah, kedua- menghasilkan maqsad keadilan dan menghilangkan kedzaliman, ketiga- menghasilkan maqsad keleluasaan dan kasih sayang terhadap umat. [26]
  Abdullah Bin Bayyah meyakini bahwa: “macam-macamnya Istishab tidak lepas dari hikmah dan maqsad syar’i, terutama Istishab Al Ibahah Al Ashliyah (berpegang pada teori hukum asal adalah boleh), karena hal ini terkait dengan tujuan kebebasan memilih sesuai dengan fitrah manusia”. [27]



                                                                      Penutup:

     Relasi antara maqasid syari’ah dengan Al Adillah Al Mukhtalaf Fiha (dalil syar’i yang debatable), adalah hubungan antara dalil dan tujuan, sebab maqasid syari’ah tidak diposisikan sebagai sebuah dalil independen, akan tetapi hanya sebagai instrument bagi fungsi dan legalitas dalil-dalil tersebut.

    Hal ini sangat berbeda dengan relasi maqasid syari’ah dengan Al Adillah Al Muttafaq Alaiha (dalil yang disepakati), di mana hubungannya mengarah pada penguatan dan justifikasi. Sedangkan kali ini, relasi keduanya adalah relasi fungsi dalil dan orientasi tujuan.




[1] Ilmu Ushul al fiqh, Abdul Wahab Khallaf, hlm: 84
[2] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi: 30
[3] Ibid: 30
[4] Ilaqat Al Maqasid As Syar'iyah Bi Ushul Al Fiqh, Abdullah Bin Bayyah, hlm. 99
[5] Al Ahkam As Sulthaniyah, Al Mawardi, hlm. 220
[6] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi: 31
[7] Al Bahr Al Muhith, Az Zarkasyi, hlm: 100
[8] Ibid: 100
[9] Syarh Mukhtashar Ibn Al Hajib, Al Qadli Al Adud, hlm. 2/288
[10] HR. Turmudzi
[11] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi: 32
[12] Ilaqat Al Maqasid As Syar'iyah Bi Al Ushul Al Fiqh, Abdullah Bin Bayyah, hlm. 100
[13] Al Furuq, Syihabuddin Al Qarrafi, hlm. 2/20
[14] Syarh Al Kaukab Al Munir, Abu Al Baqa' Al Fathui, hlm. 597
[15] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi: 46
[16] Ilaqat al Maqasid As Syar'iyah Bi Al Ushul Al Fiqh, Abdullah Bin Bayyah, hlm. 100
[17] At Ta'rifat, Al Jurjani, hlm. 193
[18] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 49
[19] Ushul Fikih, Abdul Wahab Khallaf, hlm. 90
[20] Ushul Al Fiqh, Muhammad Zakaria Al Bardisi, hlm. 317
[21] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 51
[22] Al Mustashfa, Abu Hamid Al Ghazali, hlm. 2/435, Raudlatu An Nadzir, Ibnu Qudamah, hlm: 1/400
[23] Al Jawab As Shohih, Ibnu Taimiyah, hlm. 1/272
[24] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 61
[25] Al Muswaddah, Ibn. Taimiyah, hlm. 54
[26] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 37
[27] Ilaqat Al Maqasid As Syar'iyah Bi Ushul Al Fiqh, Abdullah Bin Bayyah, hlm. 118
Click Here!

Relasi Maqasid Syari’ah dengan Dalil Syar’I (Bagian:1)

pt"> Click Here!    Maqasid Syari’ah sebagai muara hukum syari’at, sekaligus sebagai kerangka berfikir harus diperhatikan oleh para pelaku ijtihad dan fatwa, bahkan oleh kalangan umum yang tidak terkait dengan proses pengambilan kesimpulan hukum sekalipun. Sebagaimana ditegaskan oleh Abu Hamid Al Ghazali “Mengetahui maqasid suatu hukum di samping mengetahui dalilnya, akan membuat hati dan pikiran menerima dengan lapang dada”.[1]
   Dalil-dalil syar’i yang digunakan oleh para pelaku ijtihad dan fatwa memiliki relasi dengan maqasid syari’ah, baik berupa dalil yang disepakati (Al Muttafaq Alaiha) maupun yang debatable (Al Mukhtalaf Fiha).
   Untuk menjelaskan topik ini, saya akan membaginya ke dalam dua pembahasan, yaitu relasi maqasid syari’ah dengan dalil syar’i yang disepakati (Al Muttafaq Alaiha) dan relasi dengan dalil syar’i yang diperdebatkan (Al Mukhtalaf Fiha).

                          Relasi Maqasid Syari’ah dengan Al Adillah Al Muttafaq Alaiha

    Dalam hal ini, saya akan mengacu pada pendapat mayoritas ulama ushul fikih yang menganggap dalil-dalil Al Muttafaq Alaiha ada empat, yaitu: Al Qur’an, As Sunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas.

1.       Relasi dengan Al Qur’an
     Sesuatu dianggap sebagai maqasid (tujuan) syari’ah tidak menggunakan akal dan logika semata, akan tetapi dengan perantara teks baik Al Qur’an maupun As Sunnah [2]. Nuruddin Al Khadimi berkata: “Al Qur’an adalah dalil utama dan landasan inti bagi hukum-hukum syari’ah, sebagaimana ia juga  perantara untuk mendeteksi maqasid dan hikmah-hikmahnya”. [3]
Click Here!

     Misalnya, melalui Al Qur’an, diketahui tujuan pengutusan para Rasul; “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.[4]
   Tujuan penciptaan manusia yang terdiri dari perbedaan gender dan suku bangsa; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kami saling kenal mengenal”.[5]
   Tujuan diturunkannya Al Qur’an; “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.[6]

   Penegasan Al Qur’an terhadap adanya hikmah dari setiap penciptaan; “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”.[7]
    Nuruddin Al Khadimi meyakini bahwa dari hubungan antara maqasid syari’ah dengan dalil Al Qur’an adalah hubungan saling menguatkan, karena maqasid syari’ah dideteksi di antaranya melalui penegasan Al Qur’an. Bahkan karakter syari’ah berupa egaliter, universal, toleran, keadilan ditegaskan oleh Al Qur’an. [8]

2.       Relasi dengan As Sunnah

    As Sunnah adalah sumber kedua bagi syari’at Islam, posisinya berada di bawah dalil Al Qur’an. Sebagaimana Al Qur’an, As Sunnah pun dianggap sebagai cara untuk mengungkap maqasid, hikmah dan illat suatu hukum.
   As Syatibi dan ulama ushul fikih lainnya meyakini bahwa “Di antara peran As Sunnah adalah menjelaskan sesuatu yang ada dalam Al Qur’an dan melengkapinya”.[9]

    As Sunnah telah menetapkan beberapa maqasid syari’ah, baik yang bersifat umum, seperti tujuan diutusnya Nabi Muhammad sebagai penyempurna budi pekerti [10], maupun maqasid khusus, seperti tujuan menjaga pandangan mata dalam perintah meminta izin sebelum masuk ke rumah, Rosulullah bersabda: “Meminta izin agar menjaga  pandangan mata”.[11]

3.       Relasi dengan al Ijma’

    Al Ijma’ adalah konsesus para ulama atas hukum suatu masalah, pada satu masa setelah periode Nabi Muhammad SAW [12]. Dalam literature ushul fikih, Al Ijma’ dianggap sebagai dalil yang disepakati oleh para ulama, ia menempati posisi ketiga setelah Al Qur’an dan As Sunnah.
Di antara landasan dianggapnya Al Ijma’ sebagai sebuah dalil adalah sabda Nabi Muhammad SAW Rosulullah: “Umatku tidak akan bersepakat pada sesuatu yang sesat”.[13]
   Sebagaimana Al Qur’an dan As Sunnah, dalil Al Ijma’ pun termasuk salah satu cara untuk mendeteksi maqasid syari’ah.

   Beberapa maqasid yang ditetapkan melalui konsesus ulama, di antaranya: penguasaan harta anak kecil oleh wali/pengasuh syar’i, untuk kemaslahatan anak tersebut, yaitu agar hartanya tidak habis sia-sia [14]. Atau pelarangan seorang hakim untuk menyelesaikan permasalahan pada saat sedang marah, untuk kemaslahatan pihak-pihak yang sedang berselisih, yaitu agar hukum yang diputuskan adil tidak terpengaruh oleh kondisi kejiwaannya.[15]

4.       Relasi dengan Al Qiyas
   Al Qiyas adalah proses menyamakan hukum satu kasus dengan kasus lainnya yang telah ada status hukumnya, didasarkan pada persamaan dalam illat.
Al Qiyas menurut mayoritas ulama adalah dalil syar’i, sedangkan menurut pendapat madzhab Dzahiriyyah, Syi’ah, dan Nidzam Al Mu’tazili bukan merupakan dalil.[16]

   Relasi antara Al Qiyas dengan maqasid syari’ah sangat erat, di antaranya jika dilihat dari posisi illat dan maqasid yang saling menguatkan, karena illat adalah salah satu rukun Al Qiyas.
Sebagai contoh: hukum haramnya wishki disamakan dengan hukum haramnya khomr, illatnya satu yaitu memabukkan, tujuannya juga satu yaitu menjaga fungsi akal.[17]
   Terkait illat dengan maqasid, mayoritas ushuliyin melarang penggantungan hukum pada hikmah dalam proses Al Qiyas, akan tetapi harus pada illat, sebagaimana kita tahu bahwa hikmah adalah bagian dari maqasid syari’ah. Hal ini karena hikmah tidak memiliki batasan yang jelas sedangkan illat jelas batasannya. Sementara sebagian ulama lain, memperbolehkan penggantungan hukum pada hikmah sebagaimana pada illat.[18]

   Dalil Al Qiyas sendiri memperkuat pola pandang maqasid syari’ah, karena bagaimanapun proses analogi membutuhkan illat, sebagai point pemersatu antara dua kasus, maka ia mendorong kita untuk memahami maqasid dan hikmah dari hukum-hukum syari’at.

                                                                   Penutup:

    Relasi antara maqasid syari’ah dengan dalil syar’i yang disepakati (Al muttafaq Alaiha), berupa Al Qur’an, As Sunah,Al Ijma’ dan Al Qiyas, dapat dikerucutkan ke dalam beberapa point berikut:

Pertama, sebagian dalil-dalil tersebut adalah metode penguakan maqasid syari’ah, yaitu penegasan teks Al Qur’an / As Sunnah dan Al Ijma’.

Kedua, dalil Al Qiyas sangat erat terkait dengan pola pandang maqasid, karena ia merupakan argument logika yang bersandarkan pada illat.

Ketiga, memperkuat pandngan beberapa maqasidiyin yang menjadikan maqasid syari’ah sebagai sandaran hukum  secara independen.




[1] Dikutip oleh Muhammad Said Al Youbi dalam Maqasid As Syari'ah Wa Ilaqatuha Bi Al Adillah As Syar'iyah: 20
[2] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi: 11
[3] Ibid: 12
[4] QS. Al Hadid: 25
[5] QS. Al Hujarat: 13
[6] QS. An Nahl: 89
[7] QS. Al Mukminun: 115
[8] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi: 13-14
[9] Al Muwafaqat, Abu ishak as Syatibi: 4/27
[10] HR. Ahmad
[11] HR. Bukhori dan Muslim
[12] Al wafiyah Fi Ushul Fiqh, Abdullah Bin Muhammad Al Khurasani, hal: 151
[13] HR. Turmudzi
[14] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi: 23
[15] Ibid, hal : 23
[16] At Tabsirah, Ibrahim Bin Ali As Syirazi, hal: 1/424
[17] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hal: 27
[18] Al Burhan, Al Juwaini: 2/107
Click Here!