Click Here!
Keberadaan Al
Adillah As Syar’iyyah Al Mukhtalaf Fiha (dalil syara’ yang debatable) erat
terkait dengan ranah akal. Sebagai contoh, al ihtisan dan al maslahah
al mursalah, keduanya adalah dalil yang selalu mengedepankan unsur
rasionalitas. Dengan demikian, apakah relasi maqasid syari’ah dengan Al
Adillah Al Syar’iyyah Al Mukhtalaf Fiha (dalil syar’i yang debatable) sama
seperti relasinya dengan Al Adillah al Syar’iyyah Al Muttafaq Alaiha (dalil
syar’i yang disepakati), yaitu hanya sebatas justifikasi dan pengukuhan ? atau
relasinya lebih jauh dari sekedar itu ?
Relasi
Maqasid Syari’ah dengan Al Adillah Al Mukhtalaf Fiha:
Dalam sub judul
ini akan dibahas relasi maqasid syari’ah dengan dalil Al Maslahah Al Mursalah,
Al Ihtisan, Ad Dzara’i Saddan Wa Fathan, Al Urf, Syar'u Man Qablana dan Al
Istishab.
1. Relasi dengan Al Maslahah Al Mursalah
Ia adalah kemaslahatan yang tidak ditegaskan statusnya oleh teks
syari’at (Al Quran dan As Sunnah), apakah boleh dijadikan pertimbangan atau
dilarang [1]. Contohnya seperti kemaslahatan dalam kodifikasi Al Qur’an dan
kodifikasi Al Hadits. Pada masa sekarang, Nuruddin Al Khadimi menganggap
pembuatan akte kelahiran dan sertifikat kematian merupakan bagian dari Al
Maslahah Al Mursalah. [2]
Kemaslahatan-kemaslahatan di atas, sama sekali tidak dijelaskan oleh
teks syari’at, tidak diperbolehkan juga tidak dilarang, oleh karena itu
hukumnya dikembalikan ranah ijtihad ulama. Ketika ditetapkan sebagai sebagai
sebuah kemaslahatan yang boleh diperhatikan, maka ia harus selaras dengan
maqasid syari’ah. Menurut Nuruddin Al Khadimi: “harus dalam bingkai maqasid
syari’ah dan sesuatu yang dijadikan target olehnya”.[3]
“Pada saat tidak ada dalil teks dan qiyas, maka pengambilan hukum
dengan melandaskan pada maqasid syari’ah dinamakan Al Maslahah Al Mursalah” [4]. Seperti yang dilakukan oleh Sahabat
Umar RA terkait penjara bagi pelaku kriminal, dan diperbolehkannya memukul
tersangka pencuri agar mengakui perbuatannya sebagaimana yang ditegaskan oleh
Imam Malik RA. [5]
Namun, sebagaimana maqasid syari’ah ditetapkan melalui
penegasan teks berupa Al Qur’an dan As Sunnah, ia pun ditetapkan melalui
pelarangan eksplisit teks tersebut, jadi maqasid jangkauannya lebih luas
daripada al maslahah al mursalah.[6]
2. Relasi dengan Al Ihtisan
Ada beberapa versi terkait devinisi Al Istihsan, sebagian mengatakan
bahwa ia adalah: “menggunakan dalil terkuat di antara dua dalil” [7], sebagian mendevinisikan dengan: “menggunakan yang terbaik dari
beberapa pendapat dan tindakan” [8], ada juga yang mengartikan dengan: “menggunakan kemaslahatan parsial
dalam rangka membandingi dalil global”. [9]
Di antara contoh Al Istihsan adalah pendapat fuqoha (pakar fikih)
yang memperbolehkan melihat wajah perempuan yang akan dipinang, di mana ia
disandarkan juga pada hadits Nabi “Pergilah, lihat calonmu, dengan demikian
kamu akan mantap dan dapat melanggengkan pernikahanmu” [10], hal ini sebenarnya keluar dari hukum
haram melihat perempuan yang bukan muhrim, namun pindah dari satu dalil ke
dalil yang lebih kuat. Nuruddin Al Khadimi berkata: “dalam hal ini, hukum
diperbolehkan, kemaslahatannya lebih besar daripada diharamkan”.[11]
Pada coontoh kasus di atas, berpindah dari landasan dalil al Qiyas
ke Al Istihsan merealisasikan tujuan At Taisir (mempermudah), At Tausi’ah (memperluas) dan At Takhfif
(memperingan).
Abdullah Bin Bayyah menambahkan relasi maqasid syari’ah dengan dalil
Al Istihsan, yaitu pada saat teks berskala umum membutuhkan At Takhsis untuk
mengeluarkan sebagian dari sesuatu yang dicakupnya, namun pada saat yang sama
tidak ditemukan Al Mukhassis (yang mentakhsis) baik berupa teks maupun
berupa Al Qiyas (analogi), maka pada kondisi seperti ini, teks umum tersebut
bisa ditakhsis dengan maqasid, dan hal ini dianggap sebagai bentuk dari dalil
Al Istihsan. [12]
Sebagai contoh, larangan mengalokasikan zakat kepada keluarga Nabi,
ditegaskan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya zakat itu tidak layak
dialokasikan kepada keluarga Nabi Muhammad SAW, karena ia merupakan limbah
manusia”. Namun madzhab Malikiyyah dan Hanafiyyah mentakhsis umumnya hadits
di atas dengan maqasid syar'i (tujuan) dari zakat, yaitu memenuhi kebutuhan
orang miskin, maka ketika terdapat keluarga Nabi yang miskin dan tidak bisa
terpenuhi kebutuhannya, zakat boleh dialokasikan untuknya.
3. Relasi dengan Ad Dzara’I Saddan Wa Fathan
Makna Adz
Dzara’i adalah sesuatu yang dijadikan jalan untuk mencapai kepada sesuatu lain,
baik halal maupun haram. Ketika halal
maka dibuka dengan istilah Fath Ad Dzara’i, ketika haram maka ditutup
dengan istilah Sad Adz Dzara’i. [13]
Contoh Fath Adz
Dzara’i seperti hukum diperbolehkannya meminang –secara implisit- pada seorang
perempuan yang masih dalam lingkup masa iddah (masa penantian paska
kematian suami), sedangkan contoh Sad Adz Dzara’i seperti pelarangan khalwah
(mojok berdua) dengan seorang perempuan yang bukan muhrimnya.[14]
Relasi dalil ini
dengan maqasid syari’ah, bisa dilihat dari beberapa sisi berikut: pertama
– bahwa Adz Dzara’i Saddan Wa Fathan, dengan sendirinya dianggap sebagai sebuah
tujuan syari’aat, hal ini karena banyak teks Al Qur’an dan As Sunnah yang
mengandung makna perintah atau melarang karena melihat konsekuensinya. Kedua,
bahwa Adz Dzara’i di anggap sebagai jalan untuk mencapai tujuan, untuk itu
hukumnya tergantung hukum tujuannya. [15]
Untuk
merealisasikan dan mencapai pada maqasid syari’ah, perlu memperhatikan Adz
Dzara’i (jalan), yaitu dengan menutup atau membuka kran-nya, sesuai dengan Al
Ma’alat (konsekuensi). [16]
4. Relasi dengan Al Urf
Menurut
perspektif fuqoha, Al Urf adalah sesuatu yang dibiasakan oleh komunitas
masyarakat, atau meminjam devinisi yang disampaikan oleh Al Jurjani : “sesuatu
yang diakui oleh jiwa, dengan penyaksian akal dan penerimaan tabiat”. [17]
Di antara contoh
Al Urf adalah; tradisi Al Mu’atho (jual beli tanpa melalui sighat ijab
dan qabul), sebagaimana yang diterapkan di supermarket dan minimarket. Al Urf
adakalanya diterima oleh syari’at adakalanya tidak diterima, yang pertama
adalah Al Urf yang tidak bertentangan dengan norma-norma syari’at, tidak
bertentangan dengan landasan, teks dan maqasidnya. Sedangkan yang kedua adalah
yang bertentangan dengan tiga hal tadi. [18]
Abdul Wahab
Khallaf, menganggap Al Urf sebagai tujuan level Al Hajiyat (sekunder), “karena
sesuatu yang dibiasakan oleh masyarakat telah menjadi kebutuhan mereka dan
kemaslahatannya”.[19]
Senada dengan
statemen Khallaf, Al Bardisi dalam bukunya Ushul Al Fiqh menganggap Al
Urf sebagai bagian dari maqsad Raf’u Al Harj (menghilangkan kesulitan). [20]
Pada intinya,
menggunakan Al Urf (Tradisi) yang tidak bertentangan dengan landasan, teks dan
maqasid syari’ah dan meninggalkan tradisi yang bertentangan dengan hal-hal
tersebut, akan mencapai maqasid (tujuan) yang akan menghasilkan kemaslahatan,
mencegah kemafsadatan dan menghilangkan kesulitan.[21]
5. Relasi dengan Syar’u Man Qablana
Adalah sejumlah
hukum-hukum yang disyareatkan oleh Allah SWT kepada para umat dan bangsa
terdahulu, sebelum datang dan diutusnya Nabi Muhammad SAW, seperti kewajiban puasa di bulan Asyura’, haramnya ghanimah
(harta rampasan perang), ibadah kurban, dll.
Apakah
hukum-hukum yang telah ditetapkan pada umat terdahulu juga dianggap sebagai
bagian syariat Nabi Muhammad SAW ?
Ada tiga
katagori hukum syari’at di sini, yaitu: pertama –dihapus oleh syari’at
Islam (tidak dianggap) seperti hukum haram memakan gajih hewan sembelihan dan
menjadikan maling sebagai budak orang yang dimalingi, kedua –ditetapkan
oleh syari’at Islam (dianggap) seperti prinsip mengesakan Tuhan dan
menyembah-Nya, ketiga –tidak ada kejelasan status, katagori ini kemudian
menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebagian menganggap sebagian
lain menolak.[22]
Secara umum,
maqasid (tujuan ) dari syari’at- syari’at yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad
SAW adalah sama, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al Qur’an; “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan);
Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu “ (QS. An Nahl: 36) jadi
substansi tujuan diutusnya seorang Rasul itu sama, meminjam istilah Ibnu
Taimiyah; “Untuk menghasilkan kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan”.[23]
Nuruddin Al
Khadimi memerinci relasi maqasid syari’ah dengan dalil Syar’u Man Qoblana ini
sesuai dengan katagorinya, yaitu: pertama- sama dalam maqasidnya, kedua-
bertolak belakang maqasidnya, ketiga- membutuhkan selektifitas. [24]
6. Relasi dengan Al Istishab
Click Here!
Devinis Al
Istishab adalah menetapi perkara yang telah ada sampai datangnya dalil yang
meniadakannya atau sebaliknya [25], seperti menetapi hukum berlanjutnya pernikahan seseorang hingga
terjadinya talak, dalam keadaan ini, maka kedua pasangan tersebut berhak
dianggap sebagai suami isteri yang sah dengan segala keistimewaan dan
konsekuensinya.
Di antara macam
Al Istishab adalah: 1- Istishab Al Umum Ila An Ya’tiya At Takhsis (berpegang
pada makna umum hingga datangnya sesuatu yang mengkhususkan), 2- Istishab
Bara’ati Adz Dzimmah (berpegang pada prinsip bebas dari tanggungan), 3-
Istishab Al Ibahah Al Ashliyah (berpegang pada teori hukum adalah boleh).
Adapun relasi
maqasid syari’ah dengan dalil Al Istishab, bisa diurutkan sesuai dengan macam
Al Istishab di atas, pertama- menghasilkan maqsad universalitas
syari’ah, kedua- menghasilkan maqsad keadilan dan menghilangkan
kedzaliman, ketiga- menghasilkan maqsad keleluasaan dan kasih sayang
terhadap umat. [26]
Abdullah Bin
Bayyah meyakini bahwa: “macam-macamnya Istishab tidak lepas dari hikmah dan
maqsad syar’i, terutama Istishab Al Ibahah Al Ashliyah (berpegang pada teori
hukum asal adalah boleh), karena hal ini terkait dengan tujuan kebebasan
memilih sesuai dengan fitrah manusia”. [27]
Penutup:
Relasi antara
maqasid syari’ah dengan Al Adillah Al Mukhtalaf Fiha (dalil syar’i yang
debatable), adalah hubungan antara dalil dan tujuan, sebab maqasid syari’ah
tidak diposisikan sebagai sebuah dalil independen, akan tetapi hanya sebagai
instrument bagi fungsi dan legalitas dalil-dalil tersebut.
Hal ini sangat
berbeda dengan relasi maqasid syari’ah dengan Al Adillah Al Muttafaq Alaiha (dalil
yang disepakati), di mana hubungannya mengarah pada penguatan dan justifikasi.
Sedangkan kali ini, relasi keduanya adalah relasi fungsi dalil dan orientasi
tujuan.
Blackjack – Review - MD.com
BalasHapusThere's Blackjack – a game you played with 수원 출장샵 a friend, a friend or a friend, There's 천안 출장안마 also 김해 출장마사지 an online 계룡 출장안마 version of 익산 출장마사지 the popular poker game, Blackjack.