Minggu, 21 Agustus 2016

Relasi Maqasid Syari’ah Dengan Terminologi Ushul Fiqih

Click Here!  
  Setelah memahami relasi antara maqasid syari’ah dengan al adillah as syar’iyah (dalil syar’i) baik yang disepakati maupun yang diperdebatkan, kita juga sebaiknya memahami relasi antara maqasid syari’ah dengan beberapa istilah-istilah ushul fikih, hal ini –menurut Nuruddin Al Khadimi- agar memperjelas posisi saling menyempurnakan dan menyelaraskan di antara keduanya, suatu hal yang selalu menjadi sorotan dalam bangunan hukum syari’at.[1]

   Dalam makalah ini akan dibahas mengenai hubungan maqasid syari’ah dengan 6 (enam) istilah-istilah ushul fikih, yaitu: al hikmah, al illat, as sabab, ar rukhsoh, al bid’ah dan al hilah. Semestinya, jika mengikuti apa yang diyakini oleh Abdullah Bin Bayyah dalam bukunya “Ilaqat Al Maqasid As Sryar’iyah Bi Ushul Al Fiqh”, relasi ini mencapai 20 istilah.[2]

                                          1-  Relasi dengan Al Hikmah

   Menurut Ahmad Raisuni, al maqasid dengan alhikmah maknanya sinonim. Keduanya digunakan untuk menunjukkan makna maqsad as syar’i (tujuan syari’at), sebagaimana diucapkan: “tujuannya begini…..” atau “hikmahnya begini…..” Walaupun pada aplikasinya, para ulama fikih lebih menggunakan istilah al hikmah daripada al maqsad.[3]

   Al Wansyarisi Al Maliki berkata: “kata al hikmah dalam terminologi para pakar hukum Islam, bermakna tujuan dari penetapan atau peniadaan satu hukum”.[4]
  Dalam hal ini, Ibnu Farhun memperkuat statemen di atas dengan memberikan sebuah contoh: “hikmah dari pengadilan adalah menghapus monopoli hukum, mengembalikan hak kepada pemiliknya, meminimalisir kedzaliman, menolong orang yang didzalimi dan menyelesaikan perselisihan” [5]
    Al hikmah di sini jelas bermakna al maqsad.
Click Here!
Relasi ini akan semakin gamblang, pada saat kita membaca definisi istilah al hikmah yang disampaikan oleh Abdul Wahab Khallaf, ia berkata: “hikmah dari suatu hukum adalah kemaslahatan yang dijadikan tujuan oleh as syari’” . [6]

                                             2-  Relasi dengan Al Illat

    Al Illat adalah istilah yang memiliki banyak arti, di antaranya: “sifat yang jelas, terdeteksi, yang menjadi gantungan suatu hukum, jika sifat itu ada maka hukum pun ada, dan jika tidak ada, hukum pun tidak ada”. [7]
     Adapun makna asal dari istilah Al Illat -sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Raisuni- adalah ungkapan lain dari tujuan syari’ [8] Dengan demikian, sebagaimana kata al hikmah, istilah Al Illat pun sinonim dengan istilah al maqsad.
Contoh konkrit dari statemen di atas, raf’u al haraj (menghilangkan kesulitan) dalam permasalahan rukhsoh (lisensi), ia adalah hikmah dan tujuan, dan pada saat yang sama ia juga illat (motif) yang sebenarnya. Akan tetapi raf’u al haraj (menghilangkan kesulitan) adalah sesuatu yang tidak terdeteksi, maka dari itu, fuqoha’ menggantungkan hukum rukhsoh pada sebab dan illat yang jelas terdeteksi, seperti bepergian, sakit, tidak mampu dan keadaan darurat. [9]
    Jika istilah Al Illat tidak diartikan dengan devinisi di atas, maka menurut –Nuruddin Al Khadimi- bahwa Al Illat adalah gantungan suatu hukum, dan hukum kerap dibarengi dengan al maqsad (tujuan), dengan demikian –secara tidak langsung- ia adalah gantungannya al maqsad (tujuan). Contoh konkritnya, memabukkan adalah illat (motif) diharamkannya minuman keras, hukum haram ini adalah jalan untuk menjaga fungsi akal.[10]

                                         3-  Relasi dengan As Sabab

        Abu Ishak As Syatibi berpendapat: “terkadang kata as sabab memiliki arti sinonim dengan al illat, karena ikatan erat keduanya, sehingga keduanya tidak memiliki perbedaan makna”.[11]
Kalau demikian adanya, maka as sabab juga sinonim dengan istilah al hikmah, dan ar rukhsoh, Abdullah Bin Bayyah menegaskan: arti maqasid syari’ah berkisar (sinonim) pada makna istilah al illat, al hikmah dan as sabab, walau dalam kondisi tertentu istilah-istilah tersebut berbeda” [12] Para fuqoha kadang mengungkapkan “hukum ini disyari’atkan karena sebab……….”, atau “karena illat……..”, atau ‘karena hikmah………..”.[13]

Click Here!
                                       4-  Relasi dengan Ar Rukhsoh
  
         Devinisi ar rukhsoh adalah: “hukum pengecualian, karena adanya udzur syar’i” [14]  Di antara contohnya adalah hukum jama’ dan qoshor sholat dalam perjalanan, hukum berbuka puasa di bulan Ramadlan karena sakit dan hukum diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang haram pada saat tidak ditemukan obat lain.
     Hubungan ar rukhsoh dengan maqasid syari’ah bisa dilihat dari pengklasifikasiannya sesuai hirarki al maqasid berupa dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder), tahsiniyat (tersier)
Contoh ar rukhsoh katagori dharuriyat (primer), seperti diperbolehkannya memakan bangkai dan makanan haram pada saat dalam kondisi darurat. Katagori hajiyat (sekunder), seperti diperbolehkannya akad as salam (pesanan) dan melihat kepada calon isteri saat meminangnya. Dan katagori tahsiniyat (tersier), seperti diperbolehkannya memakai kain sutera bagi kaum pria yang menderita  penyakit kulit. [15]

       Ibnu Rusyd berkata:”sesungguhnya ar rukhsoh menunjukkan arti meringankan, menghilangkan kesempitan dan menghindari kesulitan” [16]
      Dengan demikian, maka menghapus ar rukhsoh atau tidak menghiraukannya –terutama pada kasus rukhsoh level dharuriyat- berarti bertentangan dengan maqasid syari’ah, karena meringankan, menghilangkan kesempitan dan menghindari kesulitan adalah bagian dari maqasid syari’ah.

                                           5-  Relasi dengan Al Bid’ah

       Sesuatu yang baru dalam ajaran Islam, tidak pernah terjadi atau tidak ada persepadanan di zaman Rasulullah adalah bid’ah. Untuk menjelaskan problematika al bid’ah secara komprehensif, Abu Ishak As Syatibi menyusun buku yang diberi judul “Al I’tisham”, sebuah buku tentang bid’ah dengan barometer maqasid syari’ah.
Pertanyaan yang patut dilontarkan di sini adalah: apakah ada relasi antara al maqsad dengan al bid’ah? Apakah al bid’ah sejalan dan menguatkan al maqsad atau bahkan berbenturan dan meruntuhkannya?
     Nuruddin Al Khadimi menjawab pertanyaan –pertanyaan di atas bahwa “sesungguhnya bid’ah datang menyalahi hukum, teks dan kaidah syari’ah, sedangkan maqasid syari’ah merupakan barometer dari hukum, teks dan kaidah tersebut” [17] 
      Dengan demikian, maka keduanya saling bertentangan dan tidak ada relasi kecuali hanya sebatas keberadaan al maqsad sebagai barometer untuk menentukan suatu hal termasuk al bid’ah  atau bukan…
    Sebagimana kita fahami, bahwa bid’ah –dalam bab ibadah- adalah inovasi ritual yang tidak pernah dilakukan atau tidak ada persepadannya di zaman Nabi, serta tidak berada dalam lingkup makna universal teks-teks syari’at. Sedangkan maqasid kubro (tujuan utama) dari ibadah adalah merealisasikan makna patuh dan ta’at kepada Allah SWT, dengan melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh syari’at.

                                      6-  Relasi dengan Al Hilah

    Di dalam kamus ilmiyah ditegaskan: “melakukan sesuatu yang diperbolehkan menurut perspektif syari’at, untuk mencapai sesuatu yang tidak diperbolehkan menurut syari’at adalah makna al hilah”.[18]
    Pada hakikatnya makna al hilah adalah bermakna al wasilah, dan hukum al wasilah tergantung al maqsad (tujuan), untuk itu, dalam literatur fikih, al hilah memiliki dua katagori sbb: [19]
Pertama al hilah al mubahah (yang diperbolehkan), contohnya menghindari kewajiban membasuh kaki saat berwudlu dengan cara menggunakan al khouf (kaos kaki dari kulit hewan) dan menggugurkan kewajiban zakat –saat sudah mencapai nishob- dengan mengalokasikan uangnya untuk biaya berangkat haji. [20]
   At Thohir Ibnu Asyur berpendapat: “al hilah ini hukumnya boleh, karena hakikatnya adalah perpindahan dari satu hukum ke lainnya, maka saat satu tujuan tidak jadi didapatkan, ada tujuan lain yang dihasilkan”.[21]

     Kedua, al hilah al muharromah (yang dilarang), seperti menikah dengan perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan menghalalkannya ke pria yang telah mentalaknya. Jenis al hilah semacam ini diharamkan, karena bertentangan dengan maqasid az zuwaj (tujuan pernikahan).[22]
Dengan demikian, maka relasi antara al maqsad dengan al hilah adalah sebagaimana relasi al wasilah dengan al maqsad, yaitu eksistensi hukum al wasilah tergantung hukum al maqsad.

                                                              Penutup:
  Berbeda dengan relasi antara maqasid syari’ah dengan al adillah as syar’iyyah, di mana hubungannya terfokus pada dua point, yaitu: justifikasi dan barometer. Sebuah dalil syar’i bisa sebagai penguat eksistensi maqasid syari’ah atau bisa juga maqasid syari’ah sebagai barometer bagi sebuah dalil syar’i.

  Sedangkan pada relasi antara maqasid syari’ah dengan beberapa terminology ushul fikih, hubungannya terjadi pada kesamaan makna (sinonim) seperti: al hikmah, al illat, as sabab, dan hubungan barometer seperti: al bid’ah dan al Hilah.

Kata Penutup

Tidak ada gading yang tak retak, tidak ada karya yang sempurna kecuali karya cipta Dzat Yang Maha Sempurna.

Apa yang telah saya paparkan tentang kajian maqasid syari’ah ini, masih “jauh panggang dari api”, maka para pembaca yang berminat untuk terus mendalami kajian ini, saya rekomendasikan untuk merujuk literatur maqasid syari’ah, baik yang ditulis oleh para ulama klasik maupun kontemporer, agar bisa memperluas pemahaman tentang kajian ini.

Ada beberapa kitab terkait maqasid syari’ah yang perlu ditela’ah -sebagai kelanjutan dari panduan dasar ini-, seperti: kitab Al Burhan karya Imam Al Juwaini, kitab Al Mustashfa karya Imam Abu Hamid Al Ghazali, kitab Qowa’id Al Ahkam Fi Masholih Al Anam karya Imam Al Izz Bin Abd. Salam, kitab Al Muwafaqat karya Imam Abu Ishak As Syatibi, kitab I’lam Al Muwaqi’in karya Ibn. Al Qoym, kitab Mahasin As Syar’iyah karya Al Qoffal As Syasi, kitab Maqasid As Syar’iyah Al Islamiyah karya Syaikh Muhammad At Thohir Bin Asyur, kitab Al Maqasid As Syar’iyah Wa Makarimuha karya Syaikh Alal Al Fasi, dll.

Dengan demikian, semoga tulisan singkat ini bisa menjadi batu loncatan untuk memaqmi kajian maqasid syari’ah secara komprehensif.

Wallahu Al Muwaffiq ila Aqwam At Thoriq





[1] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 72
[2] Ilaqat Al maqasid As Syar'iyah Bi ushul Al Fiqh, Abdullah Bin Bayyah, hlm. 99
[3] Nadzariyat Al Maqasid Inda As Syatibi, Ahmad Raisuni, hlm. 9
[4] Al Mi'yar, Al Wansyarisi, hlm. 1/349
[5] Tabshirat Al Hukkam, Ibnu Farhun, hlm. 1/8
[6] Masadir Al Tasyri' Al Islami, Abdul Wahab Khallaf, hlm. 49
[7] Mu'jam Mushthalat Ushul Al Fiqh, Qoutub Musthafa Sano, hlm. 288
[8] Nadzariyat Maqasid Inda As Syatibi, Ahmad Raisuni, hlm. 10
[9] Ibid, hlm. 10
[10] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 70
[11] Al Muwafaqat, Abu Ishak As Syatibi, hlm. 1/256
[12] Ilaqat Al Maqasid As Syar'iyah, Abdullah Bib Bayyah, hlm. 14
[13] Al ijtihad al Maqasidi, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 9
[14] At Ta'rifat, Al Jurjani, hlm. 150
[15] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 70
[16] Bidayat Al Mujtahid, ibnu Rusyd, hlm. 1/143
[17] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 70
[18] Mu'jam Mushthalah Ushul Al fiqh, Qoutub Musthofa Sano, hlm. 190
[19] Al Muqaddimat, Ibnu Rusyd, hal: 3/39
[20] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 85
[21] Maqasid As Syar'iyah Al Islamiyah, At thohir Ibnu Asyur: 112
[22] Al Maqasid As Syar'iyah Wa Silatuha Bi al Adillah As Syar'iyah, Nuruddin Al Khadimi, hlm. 86
Click Here!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar