Click Here!
Setelah memahami relasi antara maqasid syari’ah dengan al adillah as syar’iyah (dalil syar’i) baik yang disepakati maupun yang diperdebatkan, kita juga sebaiknya memahami relasi antara maqasid syari’ah dengan beberapa istilah-istilah ushul fikih, hal ini –menurut Nuruddin Al Khadimi- agar memperjelas posisi saling menyempurnakan dan menyelaraskan di antara keduanya, suatu hal yang selalu menjadi sorotan dalam bangunan hukum syari’at.[1]
Setelah memahami relasi antara maqasid syari’ah dengan al adillah as syar’iyah (dalil syar’i) baik yang disepakati maupun yang diperdebatkan, kita juga sebaiknya memahami relasi antara maqasid syari’ah dengan beberapa istilah-istilah ushul fikih, hal ini –menurut Nuruddin Al Khadimi- agar memperjelas posisi saling menyempurnakan dan menyelaraskan di antara keduanya, suatu hal yang selalu menjadi sorotan dalam bangunan hukum syari’at.[1]
Dalam makalah
ini akan dibahas mengenai hubungan maqasid syari’ah dengan 6 (enam)
istilah-istilah ushul fikih, yaitu: al hikmah, al illat, as sabab, ar
rukhsoh, al bid’ah dan al hilah. Semestinya, jika mengikuti apa yang
diyakini oleh Abdullah Bin Bayyah dalam bukunya “Ilaqat Al Maqasid As
Sryar’iyah Bi Ushul Al Fiqh”, relasi ini mencapai 20 istilah.[2]
1- Relasi dengan Al Hikmah
Menurut Ahmad Raisuni, al maqasid dengan alhikmah maknanya
sinonim. Keduanya digunakan untuk menunjukkan makna maqsad as syar’i (tujuan
syari’at), sebagaimana diucapkan: “tujuannya begini…..” atau “hikmahnya
begini…..” Walaupun pada aplikasinya, para ulama fikih lebih menggunakan
istilah al hikmah daripada al maqsad.[3]
Al Wansyarisi Al Maliki berkata: “kata al hikmah dalam terminologi
para pakar hukum Islam, bermakna tujuan dari penetapan atau peniadaan satu
hukum”.[4]
Dalam hal ini, Ibnu Farhun memperkuat statemen di atas dengan
memberikan sebuah contoh: “hikmah dari pengadilan adalah menghapus monopoli
hukum, mengembalikan hak kepada pemiliknya, meminimalisir kedzaliman, menolong
orang yang didzalimi dan menyelesaikan perselisihan” [5]
Click Here!
Relasi ini akan semakin gamblang, pada saat kita membaca definisi
istilah al hikmah yang disampaikan oleh Abdul Wahab Khallaf, ia berkata:
“hikmah dari suatu hukum adalah kemaslahatan yang dijadikan tujuan oleh as
syari’” . [6]
2- Relasi dengan Al Illat
Al Illat adalah istilah yang memiliki
banyak arti, di antaranya: “sifat yang jelas, terdeteksi, yang menjadi
gantungan suatu hukum, jika sifat itu ada maka hukum pun ada, dan jika tidak
ada, hukum pun tidak ada”. [7]
Adapun makna asal dari istilah Al Illat -sebagaimana yang
dijelaskan oleh Ahmad Raisuni- adalah ungkapan lain dari tujuan syari’ [8] Dengan demikian, sebagaimana kata al hikmah, istilah Al
Illat pun sinonim dengan istilah al maqsad.
Contoh konkrit dari statemen di atas, raf’u al haraj (menghilangkan
kesulitan) dalam permasalahan rukhsoh (lisensi), ia adalah hikmah dan
tujuan, dan pada saat yang sama ia juga illat (motif) yang sebenarnya. Akan
tetapi raf’u al haraj (menghilangkan kesulitan) adalah sesuatu yang
tidak terdeteksi, maka dari itu, fuqoha’ menggantungkan hukum rukhsoh pada
sebab dan illat yang jelas terdeteksi, seperti bepergian, sakit, tidak mampu
dan keadaan darurat. [9]
Jika istilah Al Illat tidak diartikan dengan devinisi di
atas, maka menurut –Nuruddin Al Khadimi- bahwa Al Illat adalah gantungan
suatu hukum, dan hukum kerap dibarengi dengan al maqsad (tujuan), dengan
demikian –secara tidak langsung- ia adalah gantungannya al maqsad (tujuan).
Contoh konkritnya, memabukkan adalah illat (motif) diharamkannya minuman keras,
hukum haram ini adalah jalan untuk menjaga fungsi akal.[10]
3- Relasi dengan As Sabab
Abu Ishak As Syatibi berpendapat: “terkadang kata as sabab
memiliki arti sinonim dengan al illat, karena ikatan erat keduanya, sehingga
keduanya tidak memiliki perbedaan makna”.[11]
Kalau demikian adanya, maka as sabab juga sinonim dengan
istilah al hikmah, dan ar rukhsoh, Abdullah Bin Bayyah
menegaskan: arti maqasid syari’ah berkisar (sinonim) pada makna istilah al
illat, al hikmah dan as sabab, walau dalam kondisi tertentu istilah-istilah
tersebut berbeda” [12] Para fuqoha kadang mengungkapkan “hukum
ini disyari’atkan karena sebab……….”, atau “karena illat……..”, atau ‘karena
hikmah………..”.[13]
4- Relasi dengan Ar Rukhsoh
Devinisi ar rukhsoh adalah: “hukum pengecualian, karena
adanya udzur syar’i” [14] Di antara contohnya adalah
hukum jama’ dan qoshor sholat dalam perjalanan, hukum berbuka puasa di bulan
Ramadlan karena sakit dan hukum diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang haram
pada saat tidak ditemukan obat lain.
Hubungan ar rukhsoh dengan maqasid syari’ah bisa dilihat dari
pengklasifikasiannya sesuai hirarki al maqasid berupa dharuriyat
(primer), hajiyat (sekunder), tahsiniyat (tersier)
Contoh ar rukhsoh katagori dharuriyat (primer),
seperti diperbolehkannya memakan bangkai dan makanan haram pada saat dalam
kondisi darurat. Katagori hajiyat (sekunder), seperti diperbolehkannya
akad as salam (pesanan) dan melihat kepada calon isteri saat
meminangnya. Dan katagori tahsiniyat (tersier), seperti diperbolehkannya
memakai kain sutera bagi kaum pria yang menderita penyakit kulit. [15]
Ibnu Rusyd berkata:”sesungguhnya ar rukhsoh menunjukkan arti
meringankan, menghilangkan kesempitan dan menghindari kesulitan” [16]
Dengan demikian, maka menghapus ar
rukhsoh atau tidak menghiraukannya –terutama pada kasus rukhsoh
level dharuriyat- berarti bertentangan dengan maqasid syari’ah, karena
meringankan, menghilangkan kesempitan dan menghindari kesulitan adalah bagian
dari maqasid syari’ah.
5- Relasi dengan Al Bid’ah
Sesuatu yang baru dalam ajaran Islam, tidak pernah terjadi atau
tidak ada persepadanan di zaman Rasulullah adalah bid’ah. Untuk menjelaskan
problematika al bid’ah secara komprehensif, Abu Ishak As Syatibi
menyusun buku yang diberi judul “Al I’tisham”, sebuah buku tentang bid’ah
dengan barometer maqasid syari’ah.
Pertanyaan yang patut dilontarkan di sini adalah: apakah ada relasi
antara al maqsad dengan al bid’ah? Apakah al bid’ah sejalan
dan menguatkan al maqsad atau bahkan berbenturan dan meruntuhkannya?
Nuruddin Al Khadimi menjawab pertanyaan –pertanyaan di atas bahwa
“sesungguhnya bid’ah datang menyalahi hukum, teks dan kaidah syari’ah,
sedangkan maqasid syari’ah merupakan barometer dari hukum, teks dan kaidah
tersebut” [17]
Dengan demikian, maka keduanya saling bertentangan dan tidak ada
relasi kecuali hanya sebatas keberadaan al maqsad sebagai barometer
untuk menentukan suatu hal termasuk al bid’ah atau bukan…
Sebagimana kita fahami, bahwa bid’ah –dalam bab ibadah- adalah
inovasi ritual yang tidak pernah dilakukan atau tidak ada persepadannya di
zaman Nabi, serta tidak berada dalam lingkup makna universal teks-teks
syari’at. Sedangkan maqasid kubro (tujuan utama) dari ibadah adalah
merealisasikan makna patuh dan ta’at kepada Allah SWT, dengan melalui prosedur
yang telah ditetapkan oleh syari’at.
6- Relasi dengan Al Hilah
Di dalam kamus ilmiyah ditegaskan: “melakukan sesuatu yang
diperbolehkan menurut perspektif syari’at, untuk mencapai sesuatu yang tidak
diperbolehkan menurut syari’at adalah makna al hilah”.[18]
Pada hakikatnya makna al hilah adalah bermakna al wasilah,
dan hukum al wasilah tergantung al maqsad (tujuan), untuk
itu, dalam literatur fikih, al hilah memiliki dua katagori sbb: [19]
Pertama al hilah al mubahah (yang diperbolehkan), contohnya
menghindari kewajiban membasuh kaki saat berwudlu dengan cara menggunakan al
khouf (kaos kaki dari kulit hewan) dan menggugurkan kewajiban zakat –saat
sudah mencapai nishob- dengan mengalokasikan uangnya untuk biaya berangkat
haji. [20]
At Thohir Ibnu Asyur berpendapat: “al hilah ini hukumnya boleh,
karena hakikatnya adalah perpindahan dari satu hukum ke lainnya, maka saat satu
tujuan tidak jadi didapatkan, ada tujuan lain yang dihasilkan”.[21]
Kedua, al hilah al muharromah (yang dilarang), seperti
menikah dengan perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan menghalalkannya ke
pria yang telah mentalaknya. Jenis al hilah semacam ini diharamkan,
karena bertentangan dengan maqasid az zuwaj (tujuan pernikahan).[22]
Dengan demikian, maka relasi antara al maqsad dengan al
hilah adalah sebagaimana relasi al wasilah dengan al maqsad, yaitu
eksistensi hukum al wasilah tergantung hukum al maqsad.
Penutup:
Berbeda dengan relasi antara maqasid syari’ah dengan al adillah as
syar’iyyah, di mana hubungannya terfokus pada dua point, yaitu: justifikasi dan
barometer. Sebuah dalil syar’i bisa sebagai penguat eksistensi maqasid syari’ah
atau bisa juga maqasid syari’ah sebagai barometer bagi sebuah dalil syar’i.
Sedangkan pada relasi antara maqasid syari’ah dengan beberapa
terminology ushul fikih, hubungannya terjadi pada kesamaan makna (sinonim)
seperti: al hikmah, al illat, as sabab, dan hubungan barometer seperti: al
bid’ah dan al Hilah.
Kata Penutup
Tidak ada gading
yang tak retak, tidak ada karya yang sempurna kecuali karya cipta Dzat Yang
Maha Sempurna.
Apa yang telah
saya paparkan tentang kajian maqasid syari’ah ini, masih “jauh panggang dari
api”, maka para pembaca yang berminat untuk terus mendalami kajian ini, saya
rekomendasikan untuk merujuk literatur maqasid syari’ah, baik yang ditulis oleh
para ulama klasik maupun kontemporer, agar bisa memperluas pemahaman tentang
kajian ini.
Ada beberapa
kitab terkait maqasid syari’ah yang perlu ditela’ah -sebagai kelanjutan dari
panduan dasar ini-, seperti: kitab Al Burhan karya Imam Al Juwaini, kitab Al
Mustashfa karya Imam Abu Hamid Al Ghazali, kitab Qowa’id Al Ahkam Fi Masholih
Al Anam karya Imam Al Izz Bin Abd. Salam, kitab Al Muwafaqat karya Imam Abu
Ishak As Syatibi, kitab I’lam Al Muwaqi’in karya Ibn. Al Qoym, kitab Mahasin As
Syar’iyah karya Al Qoffal As Syasi, kitab Maqasid As Syar’iyah Al Islamiyah
karya Syaikh Muhammad At Thohir Bin Asyur, kitab Al Maqasid As Syar’iyah Wa
Makarimuha karya Syaikh Alal Al Fasi, dll.
Dengan demikian,
semoga tulisan singkat ini bisa menjadi batu loncatan untuk memaqmi kajian
maqasid syari’ah secara komprehensif.
Wallahu Al
Muwaffiq ila Aqwam At Thoriq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar