pt">
Click Here!
Maqasid Syari’ah
sebagai muara hukum syari’at, sekaligus sebagai kerangka berfikir harus
diperhatikan oleh para pelaku ijtihad dan fatwa, bahkan oleh kalangan umum yang
tidak terkait dengan proses pengambilan kesimpulan hukum sekalipun. Sebagaimana
ditegaskan oleh Abu Hamid Al Ghazali “Mengetahui maqasid suatu hukum di samping
mengetahui dalilnya, akan membuat hati dan pikiran menerima dengan lapang
dada”.[1]
Dalil-dalil
syar’i yang digunakan oleh para pelaku ijtihad dan fatwa memiliki relasi dengan
maqasid syari’ah, baik berupa dalil yang disepakati (Al Muttafaq Alaiha) maupun
yang debatable (Al Mukhtalaf Fiha).
Untuk
menjelaskan topik ini, saya akan membaginya ke dalam dua pembahasan, yaitu
relasi maqasid syari’ah dengan dalil syar’i yang disepakati (Al Muttafaq
Alaiha) dan relasi dengan dalil syar’i yang diperdebatkan (Al Mukhtalaf Fiha).
Relasi
Maqasid Syari’ah dengan Al Adillah Al Muttafaq Alaiha
Dalam hal ini,
saya akan mengacu pada pendapat mayoritas ulama ushul fikih yang menganggap
dalil-dalil Al Muttafaq Alaiha ada empat, yaitu: Al Qur’an, As Sunnah, Al Ijma’
dan Al Qiyas.
1. Relasi dengan Al Qur’an
Sesuatu dianggap
sebagai maqasid (tujuan) syari’ah tidak menggunakan akal dan logika semata,
akan tetapi dengan perantara teks baik Al Qur’an maupun As Sunnah [2]. Nuruddin Al Khadimi berkata: “Al Qur’an adalah dalil utama dan
landasan inti bagi hukum-hukum syari’ah, sebagaimana ia juga perantara untuk mendeteksi maqasid dan
hikmah-hikmahnya”. [3]
Click Here!
Misalnya,
melalui Al Qur’an, diketahui tujuan pengutusan para Rasul; “Sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah
Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan”.[4]
Tujuan
penciptaan manusia yang terdiri dari perbedaan gender dan suku bangsa; “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kami
saling kenal mengenal”.[5]
Tujuan
diturunkannya Al Qur’an; “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri”.[6]
Penegasan Al
Qur’an terhadap adanya hikmah dari setiap penciptaan; “Maka apakah kamu
mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan
bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”.[7]
Nuruddin Al
Khadimi meyakini bahwa dari hubungan antara maqasid syari’ah dengan dalil Al
Qur’an adalah hubungan saling menguatkan, karena maqasid syari’ah dideteksi di
antaranya melalui penegasan Al Qur’an. Bahkan karakter syari’ah berupa egaliter,
universal, toleran, keadilan ditegaskan oleh Al Qur’an. [8]
2. Relasi dengan As Sunnah
As Sunnah adalah
sumber kedua bagi syari’at Islam, posisinya berada di bawah dalil Al Qur’an.
Sebagaimana Al Qur’an, As Sunnah pun dianggap sebagai cara untuk mengungkap
maqasid, hikmah dan illat suatu hukum.
As Syatibi dan
ulama ushul fikih lainnya meyakini bahwa “Di antara peran As Sunnah adalah
menjelaskan sesuatu yang ada dalam Al Qur’an dan melengkapinya”.[9]
As Sunnah telah
menetapkan beberapa maqasid syari’ah, baik yang bersifat umum, seperti tujuan
diutusnya Nabi Muhammad sebagai penyempurna budi pekerti [10], maupun maqasid khusus, seperti tujuan menjaga pandangan mata dalam
perintah meminta izin sebelum masuk ke rumah, Rosulullah bersabda: “Meminta izin
agar menjaga pandangan mata”.[11]
3. Relasi dengan al Ijma’
Al Ijma’ adalah
konsesus para ulama atas hukum suatu masalah, pada satu masa setelah periode
Nabi Muhammad SAW [12]. Dalam literature ushul fikih, Al Ijma’ dianggap sebagai dalil yang
disepakati oleh para ulama, ia menempati posisi ketiga setelah Al Qur’an dan As
Sunnah.
Di antara
landasan dianggapnya Al Ijma’ sebagai sebuah dalil adalah sabda Nabi Muhammad
SAW Rosulullah: “Umatku tidak akan bersepakat pada sesuatu yang sesat”.[13]
Sebagaimana Al
Qur’an dan As Sunnah, dalil Al Ijma’ pun termasuk salah satu cara untuk
mendeteksi maqasid syari’ah.
Beberapa maqasid
yang ditetapkan melalui konsesus ulama, di antaranya: penguasaan harta anak
kecil oleh wali/pengasuh syar’i, untuk kemaslahatan anak tersebut, yaitu agar
hartanya tidak habis sia-sia [14]. Atau pelarangan seorang hakim untuk menyelesaikan permasalahan
pada saat sedang marah, untuk kemaslahatan pihak-pihak yang sedang berselisih,
yaitu agar hukum yang diputuskan adil tidak terpengaruh oleh kondisi kejiwaannya.[15]
4. Relasi dengan Al Qiyas
Al Qiyas adalah
proses menyamakan hukum satu kasus dengan kasus lainnya yang telah ada status
hukumnya, didasarkan pada persamaan dalam illat.
Al Qiyas menurut
mayoritas ulama adalah dalil syar’i, sedangkan menurut pendapat madzhab
Dzahiriyyah, Syi’ah, dan Nidzam Al Mu’tazili bukan merupakan dalil.[16]
Relasi antara Al
Qiyas dengan maqasid syari’ah sangat erat, di antaranya jika dilihat dari
posisi illat dan maqasid yang saling menguatkan, karena illat adalah salah satu
rukun Al Qiyas.
Sebagai contoh:
hukum haramnya wishki disamakan dengan hukum haramnya khomr, illatnya
satu yaitu memabukkan, tujuannya juga satu yaitu menjaga fungsi akal.[17]
Terkait illat
dengan maqasid, mayoritas ushuliyin melarang penggantungan hukum pada
hikmah dalam proses Al Qiyas, akan tetapi harus pada illat, sebagaimana kita
tahu bahwa hikmah adalah bagian dari maqasid syari’ah. Hal ini karena hikmah
tidak memiliki batasan yang jelas sedangkan illat jelas batasannya. Sementara
sebagian ulama lain, memperbolehkan penggantungan hukum pada hikmah sebagaimana
pada illat.[18]
Dalil Al Qiyas
sendiri memperkuat pola pandang maqasid syari’ah, karena bagaimanapun proses
analogi membutuhkan illat, sebagai point pemersatu antara dua kasus, maka ia
mendorong kita untuk memahami maqasid dan hikmah dari hukum-hukum syari’at.
Penutup:
Relasi antara
maqasid syari’ah dengan dalil syar’i yang disepakati (Al muttafaq Alaiha),
berupa Al Qur’an, As Sunah,Al Ijma’ dan Al Qiyas, dapat dikerucutkan ke dalam
beberapa point berikut:
Pertama, sebagian dalil-dalil tersebut adalah metode penguakan maqasid
syari’ah, yaitu penegasan teks Al Qur’an / As Sunnah dan Al Ijma’.
Kedua, dalil Al Qiyas sangat erat terkait dengan pola pandang maqasid,
karena ia merupakan argument logika yang bersandarkan pada illat.
Ketiga, memperkuat pandngan beberapa maqasidiyin yang menjadikan
maqasid syari’ah sebagai sandaran hukum
secara independen.
[1] Dikutip oleh
Muhammad Said Al Youbi dalam Maqasid As Syari'ah Wa Ilaqatuha Bi Al Adillah As
Syar'iyah: 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar