Minggu, 21 Agustus 2016

Klasifikasi Maqasid Syari’ah

Click Here!


      Maqasid syari’ah jika dilihat dari empat (4) sudut pandang yang berbeda akan terbagi ke dalam beberapa katagori.
Empat perspektif tersebut adalah: 1- maqasid syari’ah dipandang dari sisi subyektifitas, 2- dipandang dari sisi orisinalitas, 3- dipandang dari sisi universalitas, dan 4- maqasid syari’ah dipandang dari sisi urgensitas.
Tujuan dari pembagian maqasid syari’ah ini –menurut Basyir bin Maulud Juhaisy- adalah untuk kepentingan prioritas dan pertimbangan antara satu tujuan dengan tujuan lainnya, antara kemaslahatan dan kemafsadatan, atau antara masing-masing kemaslahatan dan kemafsadatan.[1]

     I.   Subyektifitas Maqasid Syari’ah:

     Sudut pandang ini, telah memetakan maqasid syari’ah ke dalam dua katagori, yaitu maqasid As Syari’ (tujuan Allah dan Rosulnya) dan maqasid al mukallaf (tujuan para hamba). Model pembagian ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Ishak As Syatibi dalam bukunya “Al Muwafaqat”.
Terkait maqasid As Syari’, ia mengungkapkan empat macam tujuan, yaitu:
-          Tujuan asal penciptaan syariat, Abdullah Darraz –komentator Kitab Al Muwafaqat- memahami hal ini dengan tujuan utama pembuatan syari’at, yaitu berupa kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat.
-          Tujuan pemahaman dalam penciptaan syari’at, didasarkan pada realita bahwa teks syari’at Islam menggunakan bahasa Arab dan diturunkan pada komunitas ummi (buta huruf). Maka –menurut As Syatibi- syari’at dan tujuannya hanya bisa difahami melalui pemahaman paripurna terhadap bahasa Arab, dan kemaslahatan adalah tujuan yang paling cocok dengan komunitas masyarakat ini.
-          Tujuan pembebanan dalam penciptaan syari’at, ada dua kaidah penting terkait tujuan ini, yaitu: At Taklif Bima La Yuthok (pembebanan sesuatu di luar kemampuan para hamba), dan kaidah At Taklif Bima Fihi Al Masyaqah (pembebanan sesuatu yang mengandung kesulitan).
-          Tujuan memasukkan para hamba ke dalam lingkup hukum dalam penciptaan syari’at. Bahwa As Syari’ (Allah dan rasulnya) menuntut para hamba yang mukallaf untuk secara suka rela mematuhi segala hukum yang ditetapkan.[2]

         Adapun maqasid Al Mukallaf (para hamba) yaitu: target yang dijadikan tujuan oleh para hamba dalam keyakinan, ucapan, dan tindakannya.[3]
Tujuan ini berfungsi membedakan antara tradisi dan ibadah, kewajiban dan anjuran, Abu Ishak As Syatibi menyadur hadits Nabi SAW: Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung niatnya, untuk itu Al maqsad  (tujuan) harus diperhatikan dalam setiap tindakan, bail lingkup ibadah maupun adat istiadat…..tujuan Al mukallaf (hamba) harus selaras dengan tujuan As Syari’ (Allah dan Rasulnya).[4]

       II. Orisinalitas Maqasid Syari’ah:

      Melalui barometer keaslian, Maqasid syari’ah terbagi menjadi dua macam, yaitu Maqasid Ashliyah (tujuan inti) dan Maqasid Taba’iyah (tujuan cabang).
Maqasid Ashliyah adalah: tujuan yang tidak memperhatikan kepentingan para hamba, artinya tidak ada pertimbangan unsur hawa nafsu, kecenderungan dan tabiat manusia.
Abu Ishak As Syatibi memasukkan Ad Dharuriyat (primer) ke dalam kategori ini, maka –menurutnya- dalam menyembah sang khaliq harus sesuai prosedur yang ada, dimana prosedur tersebut ditetapkan baik sesuai selera para hamba maupun tidak.[5]

     Sedangkan maqasid Taba’iyah (tujuan cabang) adalah tujuan yang memperhatikan hawa nafsu, kecenderungan dan selera para mukallaf.
Seperti tujuan mamenuhi syahwat biologis dalam pernikahan, tujuan  memenuhi syahwat materi dalam akad jual beli, tujuan memenuhi kebutuhan fakir miskin dalam ibadah zakat. Maqasid Taba’iyah ini posisinya sebagai penguat dan penyempurna maqasid Ashliyah.

       III.              Universalitas Maqasid Syari’ah:

        Dari segi luasnya cakupan, maqasid syari’ah terbagi menjadi dua macam, yaitu : Maqasid ‘Amah (tujuan umum) dan Maqasid Khassah (tujuan khusus).
Devinisi Maqasid ‘Amah adalah : makna dan hikmah yang selalu diperhatikan oleh As Syari’ (Allah dan Rosul-Nya) dalam setiap atau mayoritas proses tasyri’ (pensyari’atan) seperti Ad Dharuriyat Al khams (5 hal primer).[6]

     Sedangkan maqasid Khassah adalah: makna dan hikmah yang diperhatikan dalam bab atau hukum tertentu, seperti tujuan menghilangkan intimidasi terhadap kaum perempuan dalam kitab fikih usrah (keluarga), tujuan membuat jera dalam bab al Jinayat (kriminal) dan tujuan mengantisipasi penipuan dalam bab Al Mu’amalah Al Maliyah (transaksi).
Tokoh yang paling serius dalam mengupas pembagian maqasid atas dasar universalitas ini adalah At Thohir Bib Asyur dalam bukunya “Maqasid As Syari’ah Al Islamiyah” karena dari tiga bagian pembahasan bukunya tersebut, bagian kedua dan ketiga di khususkan untuk pembahasan maqasid ‘Amah dan Khassah.
     Secara umum, Jasir Audah menyimpulkan bahwa tujuan yang terkait dengan umat manusia secara keseluruhan adalah maqasid ‘Amah, sedangkan yang terkait dengan individu atau sebagian dari umat manusia adalah khassah.[7]
       Kesimpulan ini, menurut saya tidak bertentangan dengan devinisi yang dijelaskan diatas, karena hikmah dan makna yang diperhatikan dalam setiap proses tasyri’, cakupannya lebih luas dari pada hikmah dan makna yang hanya diperhatikan dalam bab hukum tertentu.
  
         IV.             Urgensitas Maqasid Syari’ah

      Terakhir, Maqasid syari’ah dipandang dari sisi urgensinya, terbagi menjadi tiga macam, yaitu: Dharuriyat (primer), Hajiyat (sekunder) Tahsiniyat (tersier). Tiga hal ini juga biasa disebut dengan hirarki kemaslahatan.
-          Dharuriyat adalah kemaslahatan yang dibutuhkan oleh seluruh umat manusia, apabila tidak dipenuhi maka akan sangat berpengaruh pada tatanan kehidupan, bahkan bisa mengakibatkan kekisruhan dan kerusakan.[8]

        Abu Hamid Al Ghazali meringkas Dharuriyat ke dalam lima hal, yaitu : Hifdz Ad Din (menjaga keyakinan), Hifdz An Nafs (menjaga nyawa), Hifdz Al ‘Aql (menjaga akal), Hifdz An Nasl (menjaga keturunan), dan Hifdz Al Mal (menjaga properti).[9]

        Sedangkan Syihabuddin Al Qarrafi, Ibnu Taimiyah dan Az Zarkasy menambahkan satu hal, yaitu Hifdz Al ‘Ird (menjaga reputasi), sehingga komposisi Dharuriyat menjadi enam perkara [10]. Semua ini -menurut Abu Ishak As Syatibi- merupakan tujuan yang disepakati oleh seluruh agama.[11]
      Disisi lain, Yusuf Al Qardhawi meyakini masih terdapat Dharuriyat (tujuan primer) diluar komposisi yang disebutkan oleh ulama klasik tadi, ia mencontohkan kemaslahatan terkait dengan nilai kemanusiaan seperti kesetaraan, solidaritas dan kebebasan, ini semua adalah dharuriyat yang belum disinggung oleh mereka.

-          Hajiyat adalah : tujuan untuk kemudahan dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan.[12]

     Diantara contohnya adalah rukhshoh (kelonggaran) dalam melakukan sholat jama’ (digabungkan) dan qasr (diringkas) dalam bab ibadah. Akad pesanan,persewaan dan bagi hasil dalam bab mu’amalah.[13]
Menurut Abu Ishak As Syatibi, fungsi hajiyat adalah memperkuat kemaslahatan Dharuriyat, maka kehidupan manusia tidak akan chaos (hancur) pada saat hajiyat tidak terpenuhi, akan tetapi hanya terjadi kesempitan dan kerumitan.[14]

-          Tahsiniyat adalah tujuan yang berkisar pada lingkup budi pekerti dan keluhuran akhlaq, keindahan interaksi sosial dan adat istiadat. Posisi tahsiniyat ini dibawah dharuriyat dan hajiyat.[15]

   Al Ghazali membagi tahsiniyat kedalam dua bagian: 1- tidak bertentangan dengan kaidah universal syari’at, seperti hukum haram memakan sesuatu yang menjijikkan, 2- bertentangan dengan kaidah universal syari’at, seperti akad kitabah (angsuran) seorang budak pada majikannya untuk bisa memperoleh status merdeka.[16]

   Diantara contoh tahsiniyat dalam bab ibadah seperti: larangan berlebih-lebihan, larangan menjual barang najis. Dalam bab pernikahan seperti adanya kafa’ah (kesetaraan) dan adab pergaulan antara suami istri.[17]





                                                                    Penutup

 Empat perspektif berupa subyektifitas, orisinalitas, universalitas dan urgensitas dalam mengklasifikasikan Maqasid Syari’ah adalah hasil kesimpulan dari pembahasan para ulama maqasid.
Sebagian dari mereka –seperti Ibnu Asyur- menambahkan perspektif validitas yang menghasilkan pembagian Maqasid Syari’ah ke dalam Qath’iyah (pasti) dan Dzaniyyah (dugaan). Atau Abu Ishak As Syatibi yang menambahkan istilah juz’iyat (parsial) dan kulliyat (universal) terkait barometer universalitas.
Dengan demikian, apa yang dikupas dalam makalah ini, terkait klarifikasi Maqasid Syari’ah hanya mengutip point-point besar yang dikupas oleh maqasidiyin (pakar Maqasid Syari’ah) saja, karena dua barometer diatas –yang tidak dikupas disini- jarang disinggung oleh ulama lainnya.




[1] Fi Al ijtihad At Tanzili, Basyir Bin Maulud Juhaisy: 77
[2] Al Muwafaqat, Abu Ishak As Syatibi: 2/5, 69
[3] Al ijtihad Al Maqasidi, Nuruddin Al Khadimi: 1/53
[4] Al Muwafaqat, Abu Ishak As Syatibi: 2/10
[5] Ibid: 2/167
[6] Maqasid As Syari'ah, Ibnu Asyur: 49
[7] Madkhal Maqasidi Li Al Ijtihad, Jasir Audah, Majalah Al Fikr, edisi Agustus 2011 Halm. 7 terbitan Doha Qatar
[8] Maqasid As Syari'ah, Ibnu Asyur: 78
[9] Al Mustashfa, Abu Hamid Al Ghazali: 1/287
[10] Syarah Tanqih Al Fushul, Al Qarrafi: 391, Majmu' Al Fatwa, Ibnu Taimiyah: 1/343, Al Bahr Al Muhith, Az Zarkasyi: 5/208
[11] Al Muwafaqat, Abu Ishak As Syatibi: 2/ 8
[12] Dlowabith al Maslahah, Ramadlan Sa'id Al Buthi: 111
[13] Al Wajiz Fi Ushul al Fikh, Abdul Karim Zaidan: 301
[14] Al Muwafaqat, Abu ishak As Syatibi: 2/17
[15] Dlowabith Al Maslahah, Ramadlan Sa'id Al Buthi: 111
Click Here!
[16] Syifa Al Ghalil, Abu Hamid Al Ghazali: 1/390
[17] Al Qawa'id An Nauranniyah, Ibnu Taimiyah: 135, Maqasid As Syari'ah, Ibnu Asyur: 82

1 komentar:

  1. The Lucky Club Casino Site ᐈ 100% Welcome Bonus
    A genuine gambling experience is bound to happen in The Lucky Club casino site. Enjoy over 400 luckyclub thrilling slots, table games, slots, and more to win real money!

    BalasHapus