Click Here!
Sub tema ini
akan membahas devinisi maqasid syari’ah, sejarah dan tokoh-tokohnya, sebagai
pengantar kajian tentang maqashid syari’ah, sebuah topik yang belum banyak
“dijamah” secara peripurna oleh para intelektual dan akademisi di Indonesia.
I- Devisi Maqashid Syari’ah
Maqashid
syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu “Maqasid” dan “Syari’ah”, kata yang
pertama bermakna tujuan, sedangkan yang kedua memiliki makna “aturan-aturan
agama yang diciptakan oleh Allah SWT untuk umat manusia”. [1] Dari makna kedua
kata secara independen inilah, makna terminologi maqasid syari’ah bisa
difahami.
Ahmad Raisuni
dan Nuruddin Al Khadimi meyakini bahwa maqashid syari’ah (setelah dua kata ini
disatukan) hanya ditemukan pada buku-buku maqasid yang ditulis oleh ulama
kontemporer. Dalam kitab Al Muwafaqot karya As-Syatibi pun tidak
ditemukan sebuah devinisi yang eksplisit.[2]
Menurut
As-Syatibi, hal ini tidak lain karena kajian maqashid syari’ah diperuntukkan
bagi kalangan menengah ke atas dalam level keilmuan, jadi tidak perlu lagi
menjelaskan makna etimologi dan terminologinya. Ia menjelaskan: “kitab ini
hanya dikonsumsi oleh kalangan yang sudah matang dalam ilmu syariat baik ushul
maupun furu’-nya, dalil teks maupun logikanya, dan tidak melanggengkan taklid
serta tidak fanatic terhadap salah satu sekte fikih”.[3]
Berikut ini
beberapa definisi maqasid syari’ah yang dikutip dari intelektual muslim
kontemporer.
1. Devinisi Muhammad At Thohir Bin Asyur: “makna
dan hikmah yang selalu diperhatikan oleh Allah dan Rosulnya pada setiap
penetapan hukum atau mayoritasnya”.[4]
2. Devinisi ‘Alal Al Fasi: “tujuan dan rahasia
yang telah ditetapkan pada setiap hukum syariat”.[5]
3. Devinisi Ahmad Raisuni: “tujuan yang dijadikan
target oleh syari’at, untuk kemaslahatan umat”.[6]
4. Devinisi Nuruddin Al Khadimi: “makna yang
selalu diperhatikan pada hukum syari’at, yang menjadi barometernya, baik berupa
hikmah parsial, kemaslahatan universal, maupun karakter global, yang semuanya
terangkum dalam satu tujuan, yaitu menegaskan Tuhan dan menyelamatkan manusia
di dunia dan akhirat”.[7]
Kalau kita
perhatikan, empat devinisi di atas bisa kita golongkan ke dalam dua katagori,
pertama- devinisi hanya menitik beratkan pada As Syari’ (Allah dan
Rosulnya), yaitu devinisi maqasid syari’ah yang dikemukakan oleh Muhammad At
Thohir bin Asyur dan ‘Alal Al Fasi. Kedua- devinisi yang menitikberatkan pada As
Syari’ (Allah dan Rosulnya) dan Al Khulq (manusia), yaitu devinisi
yang ditulis oleh Ahmad Raisuni dan Nuruddin Al Khadimi.
II- Sejarah Kajian Maqasid
Syari’ah
Sebagai sebuah term
dalam literatur kajian Islam, maqasid syari’ah –menurut Nuruddin Al Khadimi-
telah ada semenjak zaman Rosulullah SAW. Buktinya adalah penyebutan
dalam Al Qur’an maupun As Sunnah kata-kata yang menunjukkan pada makna maqasid
(tujuan),[8] seperti al hikmah
(hikmah), kata al ghorod (tujuan), kata al asror (rahasia),
kata al hadp (target), bahkan kata al maqsad itu sendiri.[9]
Paska wafatnya
Nabi, di zaman sahabat dan tabi’in pun diyakini terus bergulir penggunaan
kata-kata di atas dalam lingkup ijtihad dan fatwa mereka. Ibnu Taimiyah
meyakini bahwa: “Hal terbaik dalam memahami khitob syar’i (Al Qur’an dan
As Sunnah) adalah atsar (pandangan) para sahabat, di mana mereka lebih
faham tentang maqasid (tujuan) khitob syar’i. Demikian ini akan membuat
pemahaman kita menjadi selaras dengan ushul (landasan) syariat”.[10]
Demikian halnya
dengan perhatian ulama’ periode tabi’in terhadap maqasid syari’ah, seperti apa
yang ditegaskan oleh salah satu dari mereka, Ibrahim An Nakha’i: “Bahwa seluruh
hukum syari’at memiliki tujuan, yaitu hikmah dan kemaslahatan yang kembali
kepada kita”.[11]
Jamaluddin Athiyah menambahkan bahwa dalam berijtihad,
para Imam Madzhab dari kalangan tabi’in, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali selalu memperhatikan maqasid syari’ah, walaupun berbeda dalam kadar
penggunaannya.[12]
Namun demikian,
maqasid syari’ah sebagai sebuah fan
keilmuan, baru ditemukan pada masa periode tabi’in atau setelah imam madzhab
empat.
III- Tokoh-Tokoh Maqasid Syari’ah
Sub judul ini
akan membahas sekilas biografi dan pemikiran beberapa intelektual muslim yang
dianggap memiliki kontribusi dalam kajian maqasid syari’ah. Dalam hal ini, para
tokoh dan intelektual muslim akan diklasifikasikan ke dalam tiga kategori
sesuai peran dan kontribusi yang berhasil dicurahkan.
Periode
Pertama (implisit)
Suatu masa, di
mana maqasid syari’ah hanya merupakan suplemen dalam buku-buku ushul fikih dan
fikih. Pada periode ini, intelektual muslim tidak membahasnya secara
komprehensif, bahkan penggunaan istilah-istilah al maslahat, al mafsadah, al
hikmah, al asrar, al illat dalam karya-karya mereka lebih mendominasi di
banding istilah al maqasid itu
sendiiri. Berikut ini di antara intelektual muslim yang dianggap memiliki
kontribusi secara implisit:
1. Al Hakim At Turmudzi (W: 320 H/932 M)
Lahir di Kota Turmudz (wilayah selatan Uzbekistan). Kontribusinya
bagi kajian maqasid syari’ah ditemukan dalam dua bukunya yaitu: “Maqasid Ash
Sholat” dan “Istbat Al Ilal”.
Dua buku ini sengaja dikonsentrasikan pada pembahasan hikmah dan
illat hukum-hukum syariat. Dr. Khaleed Zuhri –peneliti pada lembaga riset
istana Raja Maroko- pernah merumuskan parameter ijtihad maqasid perspektif Al
Hakim At Turmudzi melalui bukunya Itsbat Al Ilal, sebuah riset yang
dipersentasikan di Universitas Hassan II Kota Mohammediyah Maroko pada seminar
metodologi maqasid syari’ah dan aplikasi kontemporernya, tanggal 11-13 Mei
2007.
2. Al Qoffal As Syasyi (W: 365 H/976 M)
Ulama’ abad ke 4 Hijriyyah / 10 Masehi ini memiliki nama lengkap Abu
Bakar Muhammad bin Ali bin Ismail. Kota kelahirannnya As Syasyi –saat ini-
dikenal dengan nama Tashkent ibu kota Negara Uzbekistan.
Karyanya “Mahasin As Syari’ah” adalah buku fikih bernuansa maqasid,
sebab struktur pembahasannya adalah struktur buku fikih, namun substansinya
dipoles dengan pembahasan seputar hikmah, rahasia dan motif hukum-hukum fikih.
Dalam hal ini, Al Qoffal As
Syasyi dan Al Hakim At Turmudzi memiliki kesamaan dalam menggarap proyek ilmiah
fikih maqasidi.
3. Imam Al Haramain Al Juwaini (W: 478
H/1185 M)
Kota kelahirannya adalah Naisabur. Intelektual abad ke 5 H / 12 M
ini dikenal dengan gagasan-gagasan segar terkait ushul fikih yang dituangkan
dalam dua kitabnya “Al Waraqat” dan “Al Burhan”.
Terkait kajian maqasid syari’ah, Nuruddin Al Khadimi menganggap Imam
Haramain Al Juwaini sebagai tokoh yang pertama kali membagi kemaslahatan ke
dalam tiga kategori, berupa dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder),
tahsiniyat (tersier).[13]
Ia juga dianggap oleh Yusuf Al Alim sebagai penulis yang banyak
menggunakan term-term maqasid dalam bukunya, seperti kata al maqasid, al
gharad, al hikmah, al asrar, al maslahah, al mafsadah dll.[14]
4. Abu Hamid Al Ghazali (W: 505 H / 1111 M)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
Abu Hamid Al Ghazali. Lahir di desa Ghazala kabupaten Thus (sekarang kota
Masyhad Republik Islam Iran).
Di antara kontribusinya bagi kajian maqasid syari’ah adalah
penertiban urutan Dharuriyat (primer) ke dalam lima hal, yaitu hifdz
ad dien (agama), an nafs (jiwa), al aql (akal), an nasl (keturunan),
al mal (harta).[15] Ia menganggap lima
unsur ini sebagai bagian dari maqasid syari’ah.
5. Fakhruddin Ar Razi (W: 606 H / 1209 M)
Nama lengkapnya Muhammad bin Umar bin Al Hasan bin Al Husein,
dikenal dengan Fakhruddin Ar Razi.
Peran Ar Razi dalam kajian maqasid syari’ah bisa dilihat dari
isyarat-nya tentang urgensi al Qara’in (sinyal) dalam memindah istidlal
khitab syar’i (pengambilan dalil al Qur’an dan As Sunnah ) dari status dzanni
(prasangka), ke status qoth’i (pasti). Hal ini menurut Ismail Al
Hasani dianggap sebagai anjuran dari Ar Razi karena motif keterikatan yang erat
antara Al Qarain dan Al Maqasid.[16]
6. Saifuddin Al Amidi (W: 631 H / 1233 M)
Ali bin Abi Ali bin Muhammad Saifuddin Al Amidi adalah orang yang
pertama kali menggunakan kaca mata maqasid syari’ah dalam proses tarjih (pengunggulan)
saat terjadi pertentangan antara beberapa qiyas, atau saat terjadi pertentangan
antara hirarki maqasid.[17]
Oleh Jamaluddin Athiyyah, ia dianggap orang yang secara tegas
menyatakan bahwa kemaslahatan dharuriyat (primer) bagi umat manusia
hanya 5 perkara (yang disebutkan oleh Al Ghazali) tidak mungkin lebih dari itu.[18]
7. Izzudin Bin Abd. Salam (W. 660 H / 1066
M)
Nama lengkapnya adalah Abdul Aziz bin Abdus Salam As Sulami Abu
Muhammad, julukannya Izzudin. Bukunya “Qowa’idul Ahkam Fi Mashalih Al Anam”
adalah referensi utama bagi kajian maqasid
syari’ah. Melalui buku ini
Izzudin Bin Abd. Salam memperkenalkan secara detail masalah maqasid
al awamir (tujuan perintah) dan maqasid al nawahi (tujuan larangan).
Izzudin juga menemukan teori khas terkait maqasid syari’ah, di
antaranya tesis tidak ada kemaslahatan dan kemafsadahan yang murni di dunia
ini.
8. Syihabuddin Al Qarrafi (W: 685 H / 1283
M)
Ia adalah murid dari Izzudin bin Abdus Salam. Dalam karyanya “Al
Furuq”, Imam Al Qarrafi memahami interaksi Rasulullah SAW atas dasar status
sosialnya, karena menurutnya, hal ini akan memberikan implikasi perbedaan maqasid
(tujuan) dari setiap teks hadits. Ia berkata: “mengambil dalil berupa
teks-teks syariat (hadits Nabi) harus menguasai betul posisi bagaimana teks itu
muncul atau diturunkan, hal ini agar kita selalu menjaga maqasid (tujuan)
dari teks-teks tersebut, karena satu status akan berbeda dengan status lainnya,
status mufti dan muballigh akan berbeda dengan status hakim dan pemimpin”.[19]
Di samping itu, Al Qarrafi juga dianggap berjasa dalam pemaparannya
yang detai seputar kaidah Al Maqasid Wa Al Wasa’il (tujuan dan
perantara), di mana ia menetapkan bahwa level wasa’il berada di bawah maqasid,
“konsesus ulama” menetapkan bahwa perantara tingkatannya di bawah tujuan.[20] Teori lain terkait
hal ini adalah hukum Al Wasa’il, menurutnya hukum al Wasa’il tergantung pada al Maqasid.[21]
9. Najmuddin At Thufi (W: 716 H / 1316 M)
Najmuddin Sulaiman bin Abd. Qowi At Thufi adalah ulama’ dari madzhab
Hambali. Kontribusi At Thufi dalam kajian maqasid syari’ah di antaranya terkait
dengan masalah kemaslahatan. Ia secara eksplisit menegaskan bahwa saat terjadi
pertentangan kemaslahatan harus didahulukan atas teks.
Melalui gagasannya ini, ia telah mendobrak dikotomi kemaslahatan ke dalam
tiga macam yang telah ditetapkan oleh ulama’ ushul fikih sebelumnya, yaitu Al
Maslahah Al Mu’tabaroh (dianggap), Al maslahah Al Mulghoh (tidak dianggap) dan
Al Maslahah Al Mursalah (tidak jelas statusnya), karena menurut At Thufi,
seluruh kemaslahatan dianggap dan harus didahulukan atas teks, saat terjadi
pertentangan.
Statemen At Thufi ini pada akhirnya mendapat penafsiran beragam dari
para intelektual muslim yang hidup setelah zamanya, ide kontroversial ini diungkapkan olehnya dalam kitab syarah hadits
“Al Arba’in An Nawawiyyah”, tepatnya saat menjelaskan hadits nabi “ La
Dharara Wa La Dhirara”.
Di samping gagasan kontroversial tadi, menurut Haji Khalifah, ia
juga memiliki kontribusi bagi kajian maqasid dan ushul fikih dalam karyanya
yang lain, yaitu “Ad Dzari’ah Ila Ma’rifati Asrar As Syari’ah”.[22]
10. Ibnu Taimiyah (W: 728 H / 1328 M)
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Abd. Halim bin Abd. Salam. Menurut
Ismail Al Hasani, ia dianggap berani mengkritik dengan lantang para
pendahulunya, terkait masalah pembatasan Dharuriyat (primer) hanya pada
lima perkara, kemudian menghiraukan kemaslahatan-kemaslahatan lainnya.[23]
Dalam berijtihad dan berfatwa, Ibnu Taimiyah pun banyak bersandar
pada maqasid syari’ah, sebagaimana yang disampaikan oleh Yusuf Al Badawi dalam
disertasi doktoralnya di Universitas Yordania dengan tema “Maqasid As Syari’ah
Inda Ibni Taimiyah”.
Periode
Kedua (Eksplisit)
1. Abu Ishak As Syatibi (W: 790 H / 1388 M)
Al Muwafaqat (nama sebenarnya At Ta’rif Bi Asrar At Taklif) adalah
buku pertama yang mengangkat maqasid syari’ah sebagai sebuah topik yang dibahas
secara komprehensif. Sebenarnya, Al Muwafaqat adalah proyek pemikiran islah
dalam rangka meredam “konflik pemikiran” antara ulama’ Maliki dan Hanafi di
Andalusia saat itu.[24]
Teori-teori maqasid syari’ah yang ada dan beredar di kalangan ushuliyin
(pakar ushul fikih) saat ini, adalah hasil inovasinya atau pengaruh dari
buah pikirnya dalam kitab Al Muwafaqat, di mana semua itu ditulis pada abad ke
8 Hijriyyah, yang oleh Abd. Majid As Shoghir dinamakan dengan “Masa maqasid syari’ah dan kodifikasi pemikiran
politik”.[25]
Buku Al Muwafaqat ini disusun oleh As Syatibi dalam lima bab, yaitu:
muqaddimah ilmiyah, masalah hukum, masalah maqasid syari’ah, masalah dalil dan
masalah ijtihad.
Periode
Ketiga (Kontemporer)
Yang dimaksud
dengan periode kontemporer adalah, di mana kajian maqasid syari’ah paska
dideklarasikan oleh Abu Ishak As Syatibi pada abad 8 hijriyyah, muncul para
intelektual dan pemikir islam yang meneruskan tongkat estafet pemikirannya dengan menulis gagasan-gagasan
maqasid syari’ah dalam buku tersendiri. Di antara tokoh-tokoh periode ini
adalah:
1. Muhammad At Thohir ibnu Asyur (W: 1393 H
/ 1973 M)
Mufti dan imam besar masjid
jami’ Ezzitouna Tunisia. Kontribusinya dalam kajian maqasid syari’ah bisa
dilihat melalui karyanya yang diberi judul “At Tahrir Wa At Tanwir” dan
“Maqasid As Syari’ah Al Islamiyyah”.
Melalui buku maqasidnya, ia –sebagaimana Abu Ishak As Syatibi-
menggugat paradigma ushul fikih yang telah beda dan menganggapnya sebagai teori
istinbath yang tidak pasti (bersifat dzanni). Ibnu Asyur menyerukan
untuk mengganti ushul fikih yang bersifat dzanni dengan maqasid syari’ah yang
bersifat qath’i. Dalam hal ini, Al
Maisawi menganggap At Thohir Ibn Asyur sebagai “maha guru kedua” dalam
literatur maqasid setelah Abu Ishak As Syatibi.[26]
2. ‘Alal Al Fasi (W: 1394 H / 1974 M)
Abu Muhammad ‘Alal Bin Abd. Wahid, ulama pejuang kemerdekaan Maroko
dan pendiri partai Al Isiqlal ini dianggap oleh Ismail Al Hasani sejajar dengan
At Thohir Ibnu Asyur dalam pengaruhnya di bidang kajian maqasid syari’ah.[27]
Bukunya “Maqasid As Syari’ah Wa Makarimuha” adalah kumpulan
pandangan ‘Alal Al fasi dalam bidang ini. Namun demikian, Al Maisawi menganggap
isi buku tersebut sebagai sesuatu yang kurang detail, “kami tidak menemukan
sesuatu yang baru dalam bukunya” .[28]
Tuduhan Al Maisawi tadi sebenarnya telah disangkal oleh ‘Alal Al
Fasi sendiri, ia berkata: “Buku yang saya susun ini menyempurnakan
“kekosongan” dalam literatur Islam, karena mereka yang telah menulis tentang
maqasid syari’ah, tidak mampu
melampaui/menemukan hal baru dari apa yang pernah dicapai oleh As Syatibi”.[29]
Bagaimanapun, ‘Alal Al Fasi telah menelurkan gagasan-gagasan dalam
kajian maqasid syari’ah, dan bukunya tersebut menjadi rujukan penting bagi para
pemerhati kajian ini.
3. Ahmad Ar Raisuni
Ia adalah guru besar bidang maqasid syari’ah di Universitas Mohammed
V Rabat Maroko, seorang intelektual kontemporer yang memiliki perhatian penuh
terhadap kajian maqasid syari’ah. Disertasi doktoralnya “Nadzariyat Al Maqasid
inda As Syatibi” dicetak menjadi sebuah buku dan menjadi rujukan penting kajian
ini.
Dalam bukunya tersebut, ia menjelaskan secara tuntas tentang
pandangan-pandangan maqasid syari’ah yang dinisbatkan kepada Abu Ishak As
Syatibi dalam bukunya Al Muwafaqat. Sementara sebagai upaya membumikan kajian
ini, ia bersama Nuruddin Al Khadimi, Jasir Audah dan ulama’-ulama’ lainnya
mendirikan pusat kajian maqasid di London Inggris.
4. Nuruddin Al Khadimi
Direktur paska sarjana dan guru besar bidang maqasid syari’ah di
Universitas Ezzitouna Tunisia, ia juga penulis produktif buku-buku tentang
maqasid baik yang bersifat normativ, seperti: Ilmu Al Maqasid As Syar’iyah,
buku silsilah Al Maqasid As Syar’iyah sebanyak 5 jilid, maupun kajian-kajian
lintas topik dengan pendekatan maqasid syari’ah, seperti: Al Ijtihad Al
Maqsidi, Al Istinsakh Fi Dau’i Al Ushul Wa Maqasid As Syar’iyah, Al Internet Fi
Dau’i Al Ushul Wa Al Maqasid As Syar’iyah dll.
Al Khadimi dilihat dari gagasannya adalah penerus gurunya Muhammad
At Thohir bin Asyur, yang paling mencolok –dalam hal ini- adalah ketika Al
Khadimi menegaskan independensi kajian maqasid syari’ah dari induknya (ushul
fiqih), bukunya yang diberi judul “Ilmu Al Maqasid As Syar’iyah” adalah salah
satu bukti kuat keyakinannya akan independensi tersebut.
Di salah satu bagian dari buku tadi, Nuruddin Al Khadimi berkata:
“meyakini bahwa hukum syari’at dan dalil-dalilnya memiliki motif, rahasia dan hikmah
adalah pondasi untuk pertumbuhan, pengembangan dan penyempurnaan Ilmu Maqasid
Syariah”.[30]
5. Jamaluddin Athiya
Intelektual Mesir yang telah menulis beberapa buku tentang maqasid
syari’ah ini, dikenal luas sebagai sosok yang mengkampanyekan wacana maqasid
syari’ah dalam tataran praktis bukan hanya teoritis. Hal ini, telah diupayakan
melalui bukunya “Nahwa At Taf’il Al Maqasid As Syar’iyah”
Ide paling orisinil dalam bukunya ini terdapat di pasal kedua, yaitu
tentang “Tasawur Jadid Li Al Maqasid”, dia mencoba mengalihkan perhatian para intelektual muslim dari
perhatian terhadap Al Kulliyat Al khoms (lima kemaslahatan prinsip)
menuju empat bidang prinsip yaitu: maqasid syari’ah terkait individu, terkait
keluarga, terkait kebangsaan dan terkait kemanusiaan.[31]
Saya melihat ide-nya ini, sebagai upaya untuk keluar dari “perdebatan klasik” yang telah terjadi
semenjak abad ke 6 Hijriyyah, yaitu seputar perlu tidaknya penambahan point
atas Al kulliyat Al Khoms (lima kemaslahatan prinsip)
IV- Penutup
Dengan memahami devinisi, sejarah dan tokoh kajian maqasid syari’ah,
kita akan lebih mudah dalam memahami topik-topik berikutnya, karena dari prolog
inilah kita akan memulai kajian maqasid syari’ah secara komprehensif.
[2] Nadzariyatu Al Maqasid Inda As Syatibi,
Ahmad Raisuni: 17-18, Ilmu Al Maqasid Syar’iyah, Nuruddin Al Khadimi: 14-15
[8] Seperti firman Allah SWT: “dan hak bagi
Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang
bengkok” (QS. An Nahl:9) dan sabda Rosulullah: “Konsisten dan
konsistenlah, maka kalian akan sampai pada tujuan”. (HR. Bukhori)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar