Minggu, 21 Agustus 2016

Maqashid Syari’ah: Devinisi, Sejarah, Dan Tokoh


Click Here!

Sub tema ini akan membahas devinisi maqasid syari’ah, sejarah dan tokoh-tokohnya, sebagai pengantar kajian tentang maqashid syari’ah, sebuah topik yang belum banyak “dijamah” secara peripurna oleh para intelektual dan akademisi di Indonesia.

I-     Devisi Maqashid Syari’ah
Maqashid syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu “Maqasid” dan “Syari’ah”, kata yang pertama bermakna tujuan, sedangkan yang kedua memiliki makna “aturan-aturan agama yang diciptakan oleh Allah SWT untuk umat manusia”. [1] Dari makna kedua kata secara independen inilah, makna terminologi maqasid syari’ah bisa difahami.
Ahmad Raisuni dan Nuruddin Al Khadimi meyakini bahwa maqashid syari’ah (setelah dua kata ini disatukan) hanya ditemukan pada buku-buku maqasid yang ditulis oleh ulama kontemporer. Dalam kitab Al Muwafaqot karya As-Syatibi pun tidak ditemukan sebuah devinisi yang eksplisit.[2]
Menurut As-Syatibi, hal ini tidak lain karena kajian maqashid syari’ah diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas dalam level keilmuan, jadi tidak perlu lagi menjelaskan makna etimologi dan terminologinya. Ia menjelaskan: “kitab ini hanya dikonsumsi oleh kalangan yang sudah matang dalam ilmu syariat baik ushul maupun furu’-nya, dalil teks maupun logikanya, dan tidak melanggengkan taklid serta tidak fanatic terhadap salah satu sekte fikih”.[3]
Berikut ini beberapa definisi maqasid syari’ah yang dikutip dari intelektual muslim kontemporer.

1.    Devinisi Muhammad At Thohir Bin Asyur: “makna dan hikmah yang selalu diperhatikan oleh Allah dan Rosulnya pada setiap penetapan hukum atau mayoritasnya”.[4]
2.    Devinisi ‘Alal Al Fasi: “tujuan dan rahasia yang telah ditetapkan pada setiap hukum syariat”.[5]
3.    Devinisi Ahmad Raisuni: “tujuan yang dijadikan target oleh syari’at, untuk kemaslahatan umat”.[6]
4.    Devinisi Nuruddin Al Khadimi: “makna yang selalu diperhatikan pada hukum syari’at, yang menjadi barometernya, baik berupa hikmah parsial, kemaslahatan universal, maupun karakter global, yang semuanya terangkum dalam satu tujuan, yaitu menegaskan Tuhan dan menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat”.[7]
Kalau kita perhatikan, empat devinisi di atas bisa kita golongkan ke dalam dua katagori, pertama- devinisi hanya menitik beratkan pada As Syari’ (Allah dan Rosulnya), yaitu devinisi maqasid syari’ah yang dikemukakan oleh Muhammad At Thohir bin Asyur dan ‘Alal Al Fasi. Kedua- devinisi yang menitikberatkan pada As Syari’ (Allah dan Rosulnya) dan Al Khulq (manusia), yaitu devinisi yang ditulis oleh Ahmad Raisuni dan Nuruddin Al Khadimi.

II-   Sejarah Kajian Maqasid Syari’ah
Sebagai sebuah term dalam literatur kajian Islam, maqasid syari’ah –menurut Nuruddin Al Khadimi- telah ada semenjak  zaman  Rosulullah SAW. Buktinya adalah penyebutan dalam Al Qur’an maupun As Sunnah kata-kata yang menunjukkan pada makna maqasid (tujuan),[8] seperti al hikmah (hikmah), kata al ghorod (tujuan), kata al asror (rahasia), kata al hadp (target), bahkan kata al maqsad itu sendiri.[9]
Paska wafatnya Nabi, di zaman sahabat dan tabi’in pun diyakini terus bergulir penggunaan kata-kata di atas dalam lingkup ijtihad dan fatwa mereka. Ibnu Taimiyah meyakini bahwa: “Hal terbaik dalam memahami khitob syar’i (Al Qur’an dan As Sunnah) adalah atsar (pandangan) para sahabat, di mana mereka lebih faham tentang maqasid (tujuan) khitob syar’i. Demikian ini akan membuat pemahaman kita menjadi selaras dengan ushul (landasan) syariat”.[10]
Demikian halnya dengan perhatian ulama’ periode tabi’in terhadap maqasid syari’ah, seperti apa yang ditegaskan oleh salah satu dari mereka, Ibrahim An Nakha’i: “Bahwa seluruh hukum syari’at memiliki tujuan, yaitu hikmah dan kemaslahatan yang kembali kepada kita”.[11]
Jamaluddin  Athiyah menambahkan bahwa dalam berijtihad, para Imam Madzhab dari kalangan tabi’in, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali selalu memperhatikan maqasid syari’ah, walaupun berbeda dalam kadar penggunaannya.[12]
Namun demikian, maqasid  syari’ah sebagai sebuah fan keilmuan, baru ditemukan pada masa periode tabi’in atau setelah imam madzhab empat.

III- Tokoh-Tokoh Maqasid Syari’ah
Sub judul ini akan membahas sekilas biografi dan pemikiran beberapa intelektual muslim yang dianggap memiliki kontribusi dalam kajian maqasid syari’ah. Dalam hal ini, para tokoh dan intelektual muslim akan diklasifikasikan ke dalam tiga kategori sesuai peran dan kontribusi yang berhasil dicurahkan.

Periode Pertama (implisit)
Suatu masa, di mana maqasid syari’ah hanya merupakan suplemen dalam buku-buku ushul fikih dan fikih. Pada periode ini, intelektual muslim tidak membahasnya secara komprehensif, bahkan penggunaan istilah-istilah al maslahat, al mafsadah, al hikmah, al asrar, al illat dalam karya-karya mereka lebih mendominasi di banding istilah al maqasid  itu sendiiri. Berikut ini di antara intelektual muslim yang dianggap memiliki kontribusi secara implisit:

1.       Al Hakim At Turmudzi (W: 320 H/932 M)
Lahir di Kota Turmudz (wilayah selatan Uzbekistan). Kontribusinya bagi kajian maqasid syari’ah ditemukan dalam dua bukunya yaitu: “Maqasid Ash Sholat” dan “Istbat Al Ilal”.
Dua buku ini sengaja dikonsentrasikan pada pembahasan hikmah dan illat hukum-hukum syariat. Dr. Khaleed Zuhri –peneliti pada lembaga riset istana Raja Maroko- pernah merumuskan parameter ijtihad maqasid perspektif Al Hakim At Turmudzi melalui bukunya Itsbat Al Ilal, sebuah riset yang dipersentasikan di Universitas Hassan II Kota Mohammediyah Maroko pada seminar metodologi maqasid syari’ah dan aplikasi kontemporernya, tanggal 11-13 Mei 2007.

2.       Al Qoffal As Syasyi (W: 365 H/976 M)
Ulama’ abad ke 4 Hijriyyah / 10 Masehi ini memiliki nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ismail. Kota kelahirannnya As Syasyi –saat ini- dikenal dengan nama Tashkent ibu kota Negara Uzbekistan.
Karyanya “Mahasin As Syari’ah” adalah buku fikih bernuansa maqasid, sebab struktur pembahasannya adalah struktur buku fikih, namun substansinya dipoles dengan pembahasan seputar hikmah, rahasia dan motif hukum-hukum fikih.
Dalam hal ini,  Al Qoffal As Syasyi dan Al Hakim At Turmudzi memiliki kesamaan dalam menggarap proyek ilmiah fikih maqasidi.

3.       Imam Al Haramain Al Juwaini (W: 478 H/1185 M)
Kota kelahirannya adalah Naisabur. Intelektual abad ke 5 H / 12 M ini dikenal dengan gagasan-gagasan segar terkait ushul fikih yang dituangkan dalam dua kitabnya “Al Waraqat” dan “Al Burhan”.
Terkait kajian maqasid syari’ah, Nuruddin Al Khadimi menganggap Imam Haramain Al Juwaini sebagai tokoh yang pertama kali membagi kemaslahatan ke dalam tiga kategori, berupa dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder), tahsiniyat  (tersier).[13]
Ia juga dianggap oleh Yusuf Al Alim sebagai penulis yang banyak menggunakan term-term maqasid dalam bukunya, seperti kata al maqasid, al gharad, al hikmah, al asrar, al maslahah, al mafsadah dll.[14]

4.       Abu Hamid Al Ghazali (W: 505 H / 1111 M)

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al Ghazali. Lahir di desa Ghazala kabupaten Thus (sekarang kota Masyhad Republik Islam Iran).
Di antara kontribusinya bagi kajian maqasid syari’ah adalah penertiban urutan Dharuriyat (primer) ke dalam lima hal, yaitu hifdz ad dien (agama), an nafs (jiwa), al aql (akal), an nasl (keturunan), al mal (harta).[15] Ia menganggap lima unsur ini sebagai bagian dari maqasid syari’ah.

5.       Fakhruddin Ar Razi (W: 606 H / 1209 M)
Nama lengkapnya Muhammad bin Umar bin Al Hasan bin Al Husein, dikenal dengan Fakhruddin Ar Razi.
Peran Ar Razi dalam kajian maqasid syari’ah bisa dilihat dari isyarat-nya tentang urgensi al Qara’in (sinyal) dalam memindah istidlal khitab syar’i (pengambilan dalil al Qur’an dan As Sunnah ) dari status dzanni (prasangka), ke status qoth’i (pasti). Hal ini menurut Ismail Al Hasani dianggap sebagai anjuran dari Ar Razi karena motif keterikatan yang erat antara Al Qarain dan Al Maqasid.[16]
6.       Saifuddin Al Amidi (W: 631 H / 1233 M)
Ali bin Abi Ali bin Muhammad Saifuddin Al Amidi adalah orang yang pertama kali menggunakan kaca mata maqasid syari’ah dalam proses tarjih (pengunggulan) saat terjadi pertentangan antara beberapa qiyas, atau saat terjadi pertentangan antara hirarki maqasid.[17]
Oleh Jamaluddin Athiyyah, ia dianggap orang yang secara tegas menyatakan bahwa kemaslahatan dharuriyat (primer) bagi umat manusia hanya 5 perkara (yang disebutkan oleh Al Ghazali) tidak mungkin lebih dari itu.[18]

7.       Izzudin Bin Abd. Salam (W. 660 H / 1066 M)
Nama lengkapnya adalah Abdul Aziz bin Abdus Salam As Sulami Abu Muhammad, julukannya Izzudin. Bukunya “Qowa’idul Ahkam Fi Mashalih Al Anam” adalah referensi utama bagi kajian maqasid  syari’ah. Melalui buku ini  Izzudin Bin Abd. Salam memperkenalkan secara detail masalah maqasid al awamir (tujuan perintah) dan maqasid al nawahi (tujuan larangan).
Izzudin juga menemukan teori khas terkait maqasid syari’ah, di antaranya tesis tidak ada kemaslahatan dan kemafsadahan yang murni di dunia ini.

8.       Syihabuddin Al Qarrafi (W: 685 H / 1283 M)
Ia adalah murid dari Izzudin bin Abdus Salam. Dalam karyanya “Al Furuq”, Imam Al Qarrafi memahami interaksi Rasulullah SAW atas dasar status sosialnya, karena menurutnya, hal ini akan memberikan implikasi perbedaan maqasid (tujuan) dari setiap teks hadits. Ia berkata: “mengambil dalil berupa teks-teks syariat (hadits Nabi) harus menguasai betul posisi bagaimana teks itu muncul atau diturunkan, hal ini agar kita selalu menjaga maqasid (tujuan) dari teks-teks tersebut, karena satu status akan berbeda dengan status lainnya, status mufti dan muballigh akan berbeda dengan status hakim dan pemimpin”.[19]
Di samping itu, Al Qarrafi juga dianggap berjasa dalam pemaparannya yang detai seputar kaidah Al Maqasid Wa Al Wasa’il (tujuan dan perantara), di mana ia menetapkan bahwa level wasa’il berada di bawah maqasid, “konsesus ulama” menetapkan bahwa perantara tingkatannya di bawah tujuan.[20] Teori lain terkait hal ini adalah hukum Al Wasa’il, menurutnya hukum al Wasa’il  tergantung pada al Maqasid.[21]


9.       Najmuddin At Thufi (W: 716 H / 1316 M)
Najmuddin Sulaiman bin Abd. Qowi At Thufi adalah ulama’ dari madzhab Hambali. Kontribusi At Thufi dalam kajian maqasid syari’ah di antaranya terkait dengan masalah kemaslahatan. Ia secara eksplisit menegaskan bahwa saat terjadi pertentangan kemaslahatan harus didahulukan atas teks.
Melalui gagasannya ini, ia telah mendobrak dikotomi kemaslahatan ke dalam tiga macam yang telah ditetapkan oleh ulama’ ushul fikih sebelumnya, yaitu Al Maslahah Al Mu’tabaroh (dianggap), Al maslahah Al Mulghoh (tidak dianggap) dan Al Maslahah Al Mursalah (tidak jelas statusnya), karena menurut At Thufi, seluruh kemaslahatan dianggap dan harus didahulukan atas teks, saat terjadi pertentangan.
Statemen At Thufi ini pada akhirnya mendapat penafsiran beragam dari para intelektual muslim yang hidup setelah zamanya, ide kontroversial ini  diungkapkan olehnya dalam kitab syarah hadits “Al Arba’in An Nawawiyyah”, tepatnya saat menjelaskan hadits nabi “ La Dharara Wa La Dhirara”.
Di samping gagasan kontroversial tadi, menurut Haji Khalifah, ia juga memiliki kontribusi bagi kajian maqasid dan ushul fikih dalam karyanya yang lain, yaitu “Ad Dzari’ah Ila Ma’rifati Asrar As Syari’ah”.[22]

10.   Ibnu Taimiyah (W: 728 H / 1328 M)
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Abd. Halim bin Abd. Salam. Menurut Ismail Al Hasani, ia dianggap berani mengkritik dengan lantang para pendahulunya, terkait masalah pembatasan Dharuriyat (primer) hanya pada lima perkara, kemudian menghiraukan kemaslahatan-kemaslahatan lainnya.[23]
Dalam berijtihad dan berfatwa, Ibnu Taimiyah pun banyak bersandar pada maqasid syari’ah, sebagaimana yang disampaikan oleh Yusuf Al Badawi dalam disertasi doktoralnya di Universitas Yordania dengan tema “Maqasid As Syari’ah Inda Ibni Taimiyah”.

Periode Kedua (Eksplisit)

1.       Abu Ishak As Syatibi (W: 790 H / 1388 M)
Al Muwafaqat (nama sebenarnya At Ta’rif Bi Asrar At Taklif) adalah buku pertama yang mengangkat maqasid syari’ah sebagai sebuah topik yang dibahas secara komprehensif. Sebenarnya, Al Muwafaqat adalah proyek pemikiran islah dalam rangka meredam “konflik pemikiran” antara ulama’ Maliki dan Hanafi di Andalusia saat itu.[24]
Teori-teori maqasid syari’ah yang ada dan beredar di kalangan ushuliyin (pakar ushul fikih) saat ini, adalah hasil inovasinya atau pengaruh dari buah pikirnya dalam kitab Al Muwafaqat, di mana semua itu ditulis pada abad ke 8 Hijriyyah, yang oleh Abd. Majid As Shoghir dinamakan dengan “Masa  maqasid syari’ah dan kodifikasi pemikiran politik”.[25]
Buku Al Muwafaqat ini disusun oleh As Syatibi dalam lima bab, yaitu: muqaddimah ilmiyah, masalah hukum, masalah maqasid syari’ah, masalah dalil dan masalah ijtihad.

Periode Ketiga (Kontemporer)

Yang dimaksud dengan periode kontemporer adalah, di mana kajian maqasid syari’ah paska dideklarasikan oleh Abu Ishak As Syatibi pada abad 8 hijriyyah, muncul para intelektual dan pemikir islam yang meneruskan tongkat estafet  pemikirannya dengan menulis gagasan-gagasan maqasid syari’ah dalam buku tersendiri. Di antara tokoh-tokoh periode ini adalah:

1.       Muhammad At Thohir ibnu Asyur (W: 1393 H / 1973 M)
Mufti dan imam  besar masjid jami’ Ezzitouna Tunisia. Kontribusinya dalam kajian maqasid syari’ah bisa dilihat melalui karyanya yang diberi judul “At Tahrir Wa At Tanwir” dan “Maqasid As Syari’ah Al Islamiyyah”.
Melalui buku maqasidnya, ia –sebagaimana Abu Ishak As Syatibi- menggugat paradigma ushul fikih yang telah beda dan menganggapnya sebagai teori istinbath yang tidak pasti (bersifat dzanni). Ibnu Asyur menyerukan untuk mengganti ushul fikih yang bersifat dzanni dengan maqasid syari’ah yang bersifat qath’i.  Dalam hal ini, Al Maisawi menganggap At Thohir Ibn Asyur sebagai “maha guru kedua” dalam literatur maqasid setelah Abu Ishak As Syatibi.[26]





2.       ‘Alal Al Fasi (W: 1394 H / 1974 M)

Abu Muhammad ‘Alal Bin Abd. Wahid, ulama pejuang kemerdekaan Maroko dan pendiri partai Al Isiqlal ini dianggap oleh Ismail Al Hasani sejajar dengan At Thohir Ibnu Asyur dalam pengaruhnya di bidang kajian maqasid syari’ah.[27]
Bukunya “Maqasid As Syari’ah Wa Makarimuha” adalah kumpulan pandangan ‘Alal Al fasi dalam bidang ini. Namun demikian, Al Maisawi menganggap isi buku tersebut sebagai sesuatu yang kurang detail, “kami tidak menemukan sesuatu yang baru dalam bukunya” .[28]
Tuduhan Al Maisawi tadi sebenarnya telah disangkal oleh ‘Alal Al Fasi sendiri, ia berkata: “Buku yang saya susun ini menyempurnakan “kekosongan” dalam literatur Islam, karena mereka yang telah menulis tentang maqasid  syari’ah, tidak mampu melampaui/menemukan hal baru dari apa yang pernah dicapai oleh As Syatibi”.[29]
Bagaimanapun, ‘Alal Al Fasi telah menelurkan gagasan-gagasan dalam kajian maqasid syari’ah, dan bukunya tersebut menjadi rujukan penting bagi para pemerhati kajian ini.

3.       Ahmad Ar Raisuni
Ia adalah guru besar bidang maqasid syari’ah di Universitas Mohammed V Rabat Maroko, seorang intelektual kontemporer yang memiliki perhatian penuh terhadap kajian maqasid syari’ah. Disertasi doktoralnya “Nadzariyat Al Maqasid inda As Syatibi” dicetak menjadi sebuah buku dan menjadi rujukan penting kajian ini.
Dalam bukunya tersebut, ia menjelaskan secara tuntas tentang pandangan-pandangan maqasid syari’ah yang dinisbatkan kepada Abu Ishak As Syatibi dalam bukunya Al Muwafaqat. Sementara sebagai upaya membumikan kajian ini, ia bersama Nuruddin Al Khadimi, Jasir Audah dan ulama’-ulama’ lainnya mendirikan pusat kajian maqasid di London Inggris.

4.       Nuruddin Al Khadimi
Direktur paska sarjana dan guru besar bidang maqasid syari’ah di Universitas Ezzitouna Tunisia, ia juga penulis produktif buku-buku tentang maqasid baik yang bersifat normativ, seperti: Ilmu Al Maqasid As Syar’iyah, buku silsilah Al Maqasid As Syar’iyah sebanyak 5 jilid, maupun kajian-kajian lintas topik dengan pendekatan maqasid syari’ah, seperti: Al Ijtihad Al Maqsidi, Al Istinsakh Fi Dau’i Al Ushul Wa Maqasid As Syar’iyah, Al Internet Fi Dau’i Al Ushul Wa Al Maqasid As Syar’iyah dll.
Al Khadimi dilihat dari gagasannya adalah penerus gurunya Muhammad At Thohir bin Asyur, yang paling mencolok –dalam hal ini- adalah ketika Al Khadimi menegaskan independensi kajian maqasid syari’ah dari induknya (ushul fiqih), bukunya yang diberi judul “Ilmu Al Maqasid As Syar’iyah” adalah salah satu bukti kuat keyakinannya akan independensi tersebut.
Di salah satu bagian dari buku tadi, Nuruddin Al Khadimi berkata: “meyakini bahwa hukum syari’at dan dalil-dalilnya memiliki motif, rahasia dan hikmah adalah pondasi untuk pertumbuhan, pengembangan dan penyempurnaan Ilmu Maqasid Syariah”.[30]

5.       Jamaluddin Athiya
Intelektual Mesir yang telah menulis beberapa buku tentang maqasid syari’ah ini, dikenal luas sebagai sosok yang mengkampanyekan wacana maqasid syari’ah dalam tataran praktis bukan hanya teoritis. Hal ini, telah diupayakan melalui bukunya “Nahwa At Taf’il Al Maqasid As Syar’iyah”
Ide paling orisinil dalam bukunya ini terdapat di pasal kedua, yaitu tentang “Tasawur Jadid Li Al Maqasid”, dia mencoba mengalihkan  perhatian para intelektual muslim dari perhatian terhadap Al Kulliyat Al khoms (lima kemaslahatan prinsip) menuju empat bidang prinsip yaitu: maqasid syari’ah terkait individu, terkait keluarga, terkait kebangsaan dan terkait kemanusiaan.[31]
Saya melihat ide-nya ini, sebagai upaya untuk keluar  dari “perdebatan klasik” yang telah terjadi semenjak abad ke 6 Hijriyyah, yaitu seputar perlu tidaknya penambahan point atas Al kulliyat Al Khoms (lima kemaslahatan prinsip)

IV-   Penutup

Dengan memahami devinisi, sejarah dan tokoh kajian maqasid syari’ah, kita akan lebih mudah dalam memahami topik-topik berikutnya, karena dari prolog inilah kita akan memulai kajian maqasid syari’ah secara komprehensif.





[1] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, Al Qurtubi: 16/163
[2] Nadzariyatu Al Maqasid Inda As Syatibi, Ahmad Raisuni: 17-18, Ilmu Al Maqasid Syar’iyah, Nuruddin Al Khadimi: 14-15
[3] Al Muwafaqat, Abu Ishak As Syatibi: 1/87
[4] Maqasid As Syar’iyah Al Islamiyah, Ibnu Asyur: 51
[5] Maqasid As Syar’iyah Al Islamiyah Wa Makarimuha, ‘Alal Al fasi:3
[6] Nadzariyatu Al Maqasid Inda As Syatibi, Ahmad Raisuni: 19
[7] Al Ijtihad Al maqasidi, Nuruddin Al Khadimi: 52-53
[8] Seperti firman Allah SWT: “dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok” (QS. An Nahl:9) dan sabda Rosulullah: “Konsisten dan konsistenlah, maka kalian akan sampai pada tujuan”. (HR. Bukhori)
[9] Ilmu Al Maqasid As Syar’iyah, Nuruddin Al Khadimi: 53
[10] Al Qawa’id An Nauraniyah, Ibnu Taimiyah: 143
[11] Al Fikr As Sami, Muhammad Bin Al hasan Al hajawi:2/318
[12] At Tandzir Al Fiqhi, Jamaluddin Athiyah: 60
[13] Ilmu Al Maqasid As Syar’iyah, Nuruddin Al Khadimi: 55
[14] Al Maqasid Al ‘Amah Li As Syari’ah Al Islamiyah, Yusuf Al ‘Alim: 156
[15] Al Mustashfa, Abu Hamid Al Ghazali: 1/139
[16] Nadzariyat Al Maqasid Inda Ibn Asyur, Ismail Al hasani: 49
[17] Al Ihkam, Saifuddin Al Amidi: 4/376
[18] Nahwa Taf’il Al Maqasid As Syar’iyah, Jamaluddin Athiyah: 91
[19] Nadzariyat Al Maqasid Inda Ibn Asyur, Ismail Al hasani: 51
[20] Al Furuq, Syihabuddin Al Qarrafi: 1/202
[21] Ibid: 2/59
[22] Kasyf Adz Dzunun, haji Khalifah: 1/826
[23] Nadzariyat Al Maqasid Inda Ibn Asyur, Ismail Al hasani: 60
[24] Al Muwafaqat, Abu Ishak As Syatibi: 1/11
[25] Al Fikr Al Ushuli Wa Isykaliyatul Al Sulthah Al ilmiyah, Abdul Majid As Shoghir: 462
[26] Muqaddimah Maqasid As Syari’ah: 71
[27] Nadzariyat Al Maqasid Inda Ibn Asyur, Ismail Al hasani: 71
[28] Muqaddimah Maqasid As Syari’ah: 71
[29] Maqasid As Syari’ah Wa Makarimuha, ‘Alal Al fasi; 109
[30] Ilmu Al Maqasid As Syari’ah, Nuruddin Al Khadimi: 49
[31] Nahwa at Taf’il Al Maqasid As Syari’ah, Jamaluddin Athiyah: 139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar