Click Here!
Dalam buku “Al
Muwafaqat” karya Abu Ishak As Syatibi diungkapkan sebuah pertanyaan: “Dengan
apa kita mengertahui sesuatu yang termasuk dalam maqasid syari’ah dan yang
tidak termasuk ?”.[1] Pertanyaan di
atAs, juga terbersit dalam pikiran kita, terutama saat mengkaji topik maqasid
syari’ah. Sebab, se-pendek pemahaman kita, bahwa tujuan syariat adalah sesuatu
yang tidak dapat diketahui kecuali oleh penciptanya.Untuk menjawab
pertanyaan seputar metode penetapan maqasid syari’ah, Abu Ishak As Syatibi
pertama-tama mengulas tiga sekte ulama dalam masalah ini.Pertama, maqasid syari’ah tidak akan dimengerti oleh kita sampai datang
sebuah teks (Al Qur’an atau As Sunnah) yang menjelaskan tujuannya, ini adalah
pendapat yang diyakini oleh ulama Dzahiriyah (literal), yang meyakini bahwa
sumber mengetahui maqasid syari’ah hanya pada sisi lahir teks Al Qur’an dan As
Sunnah.
Kedua, maqasid syari’ah tidak berada di sisi lahir teks agama, sebagaimana ia juga bukan sesuatu yang difahami dari teks. Akan tetapi, maqasid syari’ah merupakan sesuatu yang lain di luar teks dan berlaku di setiap syariat agama apapun. Ini adalah pendapat kaum Bathiniyah (esensial), yang meyakini bahwa sisi lahir dan sisi makna teks Al Qur’an dan As Sunnah tidak bisa dijadikan cara untuk mendeteksi maqasid syari’ah. Ketiga, maqasid syari’ah bisa difahami melalui sisi lahir teks Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana ia juga bisa dideteksi melalui nalar akal terhadap teks tersebut. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, yang menyeimbangkan antara sisi lahir dan sisi makna teks, sehingga syari’at berjalan selaras tidak terjadi pertentangan.[2]
Kedua, maqasid syari’ah tidak berada di sisi lahir teks agama, sebagaimana ia juga bukan sesuatu yang difahami dari teks. Akan tetapi, maqasid syari’ah merupakan sesuatu yang lain di luar teks dan berlaku di setiap syariat agama apapun. Ini adalah pendapat kaum Bathiniyah (esensial), yang meyakini bahwa sisi lahir dan sisi makna teks Al Qur’an dan As Sunnah tidak bisa dijadikan cara untuk mendeteksi maqasid syari’ah. Ketiga, maqasid syari’ah bisa difahami melalui sisi lahir teks Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana ia juga bisa dideteksi melalui nalar akal terhadap teks tersebut. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, yang menyeimbangkan antara sisi lahir dan sisi makna teks, sehingga syari’at berjalan selaras tidak terjadi pertentangan.[2]
Dari uraian Abu Ishak As Syatibi ini, para maqasidiyin (pakar maqasid syari’ah), menyimpulkan beberapa metode untuk menguak maqasid syari’ah.Yang dapat saya rangkum dari penjelasan mereka –dalam makalah ini- ada 8 (delapan) metode, yaitu: 1. An Nash (penegasan teks Al Qur’an dan As Sunnah)2. Penelusuran Al Awamir (perintah) dan An Nawahi (larangan)3. Al Istiqra (penelitian terhadap arah interaksi syariat)4. Ijma’ (Konsesus ulama)5. Al Ima (isyarat)6. Al Maskut Anhu (yang didiamkan)7. Pengembangan Al Maqasid Al Asliyah (tujuan utama)8. Atsar As Sahabah (keterangan sahabat Nabi Saw) 1. An Nash (penegasan teks Al Qur’an dan As Sunnah)
- Maqsad An Nahyi ‘an Iddikhari luhum Al Adahi (tujuan larangan menyimpan daging kurban), ditegaskan dalam As Sunnah “Untuk mereka yang datang karena kelaparan”.[6]
- Maqsad Irsal Al Rusul (tujuan pengutusan para rosul), ditegaskan dalam Al Qur’an: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rosul-rosul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan)supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.[7]
Tujuan hukum-hukum di atas telah ditegaskan secara eksplisit olehb teks Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga kita bisa memahami maqasid syari’ah dengan mudah. 2. Penelusuran Al Awamir (perintah) dan An Nawahi (larangan)
Nuruddin Al Khadimi menganggap bahwa Al Awamir As Syar’iyah (perintah syariat) yang menjadi metode penetapan maqasid syari’ah mencakup seluruh bentuk dan lafadz yang menunjukkan makna perintah baik dalam Al Qur’an maupun As Sunnah [8]. Hal ini –menurut Ahmad Raisuni- baik disertai dengan penjelasan motif maupun tidak disertai penjelasan.[9]
At Thohir Bin Asyur menyatakan: “Di antara cara untuk mendeteksi maqasid syari’ah adalah merujuk pada motif perintah” [10], dan Al Amr (perintah) disini mencakup juga An Nahyi (larangan), karena pada hakikatnya ia mencakup tuntutan untuk melakukan dan tuntutan untuk meninggalkan.[11]Contoh maqasid syari’ah yang berhasil dideteksi melalui metode penguakan Al Awamir (perintah) dan An Nawahi (larangan) adalah sbb: - Perintah bergegas melakukan sholat Jum’at, dalam Al Qur’an dijelaskan: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah”.[12]
- Larangan berzina, ditegaskan dalam Al Qur’an: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.[13]
Kita dapat memahami perintah dan larangan dalam ayat di atas sebagai tujuan syari’at untuk realisasi terhadap perintah sholat Jum’at dan larangan berzina. [14] 3. Al Istiqra (penelitian terhadap arah interaksi syariat)
Diantara hasil dari penelitian terhadap arah interaksi syari’at, adalah apa yang dikemukakan oleh Abu Ishak As Syatibi: “ Penciptaan syari’at adalah untuk keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat … dalil dari ucapan saya ini adalah hasil penelitian terhadap interaksi syari’at bahwa ia dibuat untuk kemaslahatan umat manusia”.[17]
Senada dengan hasil penelitian di atas, At Thohir Bin Asyur berkata (setelah menyebutkan beberapa firman Al Qur’an dan sabda Nabi): “ penelitian terhadap beberapa dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah menyimpulkan sebuah keyakinan bahwa hokum-hukum syari’at digantungkan pada motif dan hikmah yang kembali pada kemaslahatan umat manusia”.[18] 4. Ijma’ (Konsesus ulama)
Di antara contoh illat (motif hukum) yang disepakati ulama adalah:- Dalam masalah warisan, ulama sepakat bahwa motif didahulukannya saudara laki-laki sekandung atas saudara laki-laki seayah adalah bercampurnya pertalian nasab ayah dan ibu di antara kedua saudara tersebut.- Dalam masalah perniagaan, ulama sepakat bahwa illat penguasaan wali (pengasuh syar’i) terhadap harta benda anak kecil adalah kondisi belum akil baligh (masih kecil). Bagaimanapun, illat (motif) hukum adalah maqsad (tujuan) itu sendiri, atau sesuatu yang mengandung maqsad (tujuan), dan atau sesuatu yang menetapi maqsad (tujuan).[20]
5. Al Ima (isyarat)
Menurut Saifuddin Al Amidi: Al Ima’ adalah penyebutan hukum yang dibarengi dengan sifat, kalau sifat tersebut tidak difahami sebagai sebuah illat (motif), maka penyebutannya akan mengurangi nilai sastra susunan kalimat… dan hal ini hanya bisa difahami melalui makna bukan lafadz”.[21]
- Penyebutan sifat setelah hukum, seperti dalam Hadits Nabi SAW: “Allah SWT melaknat orang-orang Yahudi, mereka menjadikan kuburan para Nabi sebagai masjid”.[23]
- Keselarasan antara hukum dan sifat, seperti dalam firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka”.[24]
Dengan demikian, Al Ima (isyarat) yang menjadi metode untuk mendeteksi maqasid syari’ah adalah bagian dari masalik al illat (cara mendeteksi motif hukum) yang selalu diulas oleh ulama ushul fikih dalam tulisan-tulisannya.[25] 6. Al Maskut Anhu (yang didiamkan)
Al Maqasid Al Asliyah adalah tujuan utama / asal, seperti tujuan untuk menyembah sang Khaliq dalam perintah sholat, tujuan memperbanyak keturunan dalam anjuran nikah.Sedangkan Al Maqasid At Taba’iyah adalah tujuan pelengkap / pengikut untuk menghindar dari sifat keji dan munkar dalam perintah sholat, atau tujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis dalam pernikahan. Dengan demikian, Al Maqasid Al Asliyah (tujuan utama) adalah jalan untuk menguak Al Maqasid At Taba’iyah (tujuan pelengkap), apabila ia menguatkan dan mendukung tujuan utama.[32]
8. Atsar As Sahabah (keterangan sahabat Nabi Saw)
Metode terakhir yang disinggung oleh maqsidiyin (pakar
maqasid syari’ah) adalah Atsar As Sahabah, yaitu; ucapan, tindakan, dan
fatwa para sahabat Nabi.Hal ini dianggap oleh Nuruddin Al Khadimi sebagai jalan untuk
mendeteksi maqasid syari’ah [33]. Karena para
sahabat hidup pada zaman di mana wahyu diturunkan kepada Nabi, jadi mereka
adalah orang yang faham tentang hadits, sejarah dan tujuan syari’at [34], “maka kita
harus merujuk kepada para sahabat Nabi dalam memahami makna dan tujuan teks
syari’at”.[35] Penutup: Menurut Ahmad Raisuni, metode untuk mendeteksi maqasid syari’ah
tidak terbatas pada jalan dan dalil tertentu, akan tetapi setiap dalil memiliki
nilai ilmiyah, kekuatan penetapan dan hujjah…..Intinya, bahwa penetapan maqasid
syari’ah tidak melalui Ar Ra’yu al Mursal (pendapat lepas), hawa nafsu,
prasangka, dan angan-angan.[36]
Adapun perbedaan maqasidiyin (pakar maqasid syari’ah) dalam merumuskan metode penetapan maqasid syari’ah, pada umumnya adalah perbedaan bentuk dan cara penyebutan, lebih terkait dengan adanya pengglobalan dan perincian, ada yang menggabungkan ada yang mencabangkan, ada yang eksplisit ada yang implisit. Maka tidak heran jika Abu Ishak As Syatibi menganggap empat metode, At Thohir bin Asyur menyimpulkan tiga metode, Nuruddin Al Khadimi menyebutkan enam metode dan dalam makalah ini saya merumuskan delapan metode. Bagaimanapun juga, membahas jalan pendeteksi maqasid syari’ah – dalam berbagai kondisi – kerap diwarnai dengan kerumitan, sensitifitas dan kesamaran, ini semua – menurut Nuruddin Al Khadimi – karena terkait dengan dalil naqli (teks), aqli (logika) dan waqi’ (realita).[37]
[1] Al Muwafaqat, Abu Ishak As Syatibi: 2/393[2] Ibid: 2/393-394[3] Al Fikr Al Maqasidi, Ahmad Raisuni: 54[4] Maqasid As Syari’ah Al islamiyah, At Thohir Bin Asyur: 18[5] QS. Al Hasyr: 7[6] HR. Muslim[7] QS. Al Hadid: 25[8] Al Maqasid As Syar’iyah Thuruq Itsbatuha, Nuruddin Al khadimi: 15[9] Nadzariyat Al Maqasid inda As Syatibi, Ahmad Raisuni: 272[10] Maqasid As Syari’ah Al islamiyah, At Thohir Bin Asyur: 20[11] Al Maqasid As Syar’iyah Thuruq Itsbatuha, Nuruddin Al khadimi: 15[12] QS. Al Jum’ah: 9[13] QS. Al Isra’: 32[14] Nadzariyat Al Maqasid inda As Syatibi, Ahmad Raisuni: 274[15] Maqasid As Syari’ah Al Islamiyah, At Thohir Bin Asyur: 16[16] Al Mustashfa, Abu hamid Al Ghazali: 1/163[17] Al Muwafaqat, Abu Ishak As Syatibi: 2/6[18] Maqasid As Syari’ah Al Islamiyah, At Thohir Bin Asyur: 12[19] Al Fikr Al Maqasidi, Ahmad Raisuni: 54[20] Ibid: 53[21] Al Ihkam Fi Ushul Al Ahkam, Saifudin Al Amidi: 3/279[22] HR. Bukhori[23] HR. Bukhori dan Muslim[24] QS. Al Infithar: 13-14[25] Irsyad Al Fuhul, Ali As Syaukani: 2/167[26] Al Maqasid As Syar’iyah Thuruq Itsbatuha, Nuruddin Al khadimi: 16[27] Fashlu Al Maqal, Ibnu Rusyd: 19[28] Al Maqasid As Syar’iyah Thuruq Itsbatuha, Nuruddin Al khadimi: 17[29] Nadzariyat Al Maqasid inda As Syatibi, Ahmad Raisuni: 282[30] Al Muwafaqat, Abu Ishak As Syatibi: 2/410[31] Ibid: 2/396[32] Al Maqasid As Syar’iyah Thuruq Itsbatuha, Nuruddin Al Khadimi: 20[33] Ibid: 19[34] Majmu Al Fatawa, Ibnu Taimiyah: 4/94-95[35] Bayan Ad Dalil, Ibn Taimiyah: 66[36] Al Fikr Al Maqasidi< Ahmad Raisuni: 50-51[37] Al Maqasid As Syar’iyah Thuruq Itsbatuha, Nuruddin Al Khadimi: 11
Click Here!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar