Click Here!
Sebagaimana kaidah ushul dan kaidah fikih, dalam kajian Maqasid
Syari’ah pun terdapat beberapa kaidah. Kaidah-kaidah tersebut telah lama
dirumuskan oleh ulama klasik, seperti: Izzuddin Bin Abdus Salam, Syihabuddin Al
Qarrafi dan Abu Ishak As Syatibi, kemudian rumusan awal ini disempurnakan dan
dibuat sistematis oleh maqasidin muashirin (pakar maqasid kontemporer),
seperti : Abdurrohman Al Kailani melalui bukunya: “Qowa’id Al Maqasid Inda Al
Imam As Syatibi” dan Ahmad Raisuni melalui bukunya “ Al Fikr Al Maqasid:
Qowaiduhu Wa Fawaiduhu”.
Al Qowa’id Al Maqasidiyah dalam garis besarnya bisa dibagi ke dalam dua
katagori, yaitu; kaidah umum dan kaidah khusus, berikut penjelasan detail
terkait dua macam kaidah tersebut.
I- Kaidah Umum:
Kaidah-kaidah yang termasuk dalam katagori ini, terkait dengan
kerangka pemahaman seputar maqasid syari’ah. Oleh Ahmad Raisuni, kaidah semacam
ini dianggap sebagai prinsip untuk memahami maqasid syari’ah. [1] “Agar maqasid syari’ah menjadi kerangka pemikiran ilmiyah
tersendiri, maka perlu memiliki kaidah, yang mengarahkan kepada pemahaman yang
benar dan membingkai cara bersandar kepada maqasid syari’ah” [2]. Di antara kaidah maqasid yang dianggap umum adalah sebagai
berikut:
-
Kullu
Ma Fi As Syari’ah Mu’allal
Yaitu “segala sesuatu dalam syari’at memiliki hikmah atau motif”.
Dalam kajian ushul fikih, biasanya dibahas tentang at ta’abbudiyyah (sesuatu
yang tidak memiliki hikmah atau motif) dan al mu’allalah (yang
memiliki hikmah atau motif), masalah ini tergolong debatable di antara
ulama, kesimpulannya sebagian mengatakan bahwa seluruh hukum syari’at memiliki
hikmah atau motif, sebagian lain mengatakan tidak, kemudian ada juga yang
membedakan antara bab ibadah dan lainnya, menganggap bahwa seluruh hukum dalam
bab ibadah ta’abbudi (tidak memiliki hikmah atau motif) sedangkan
bab-bab lainnya mu’allalah (memiliki hikmah atau motif).
Abu Ishak As Syatibi berkata: “Yang asal dalam bab ibadah adalah ta’abbudi
(tanpa hikmah atau motif) sedangkan dalam bab mua’malat adalah at ta’lil
(memiliki hikmah atau motif).[3]
Di antara ulama yang meyakini seluruh hukum syari’at memiliki hikmah
atau motif adalah Ahmad Raisuni, ia kemudian menolak anggapan As Syatibi di
atas, “walaupun statemennya memiliki landasan, namun tidak lepas dari
kerancuan”.[4]
Ahmad Raisuni meyakini bahwa dalam bab ibadah –sekalipun- memiliki
hikmah atau motif, hal ini sebagaimana juga disinggung oleh Ibnu Al Qayyim:
“Secara global, hukum-hukum dalam bab ibadah memiliki hikmah atau motif yang
tidak bisa ditemukan secara terperinci namun bisa ditemukan secara global”.[5]
Ahmad Raisuni menegaskan: “Samarnya hikmah atau motif pada sebagian
bab ibadah, seperti waktu, cara dan jumlah rakaat sholat, tidak cukup untuk
membuat kesimpulan bahwa yang asal dalam bab ibadah adalah ta’abbud (tidak
memiliki motif atau hikmah), sebab landasan ibadah adalah memiliki illat”.[6]
-
La
Taqsida Illa Bi Dalil
“Tidak ada maqasid kecuali memiliki dalil”, kaidah ini untuk
memperkuat eksistensi maqasid syari’ah, sekaligus menegaskan bahwa ia bukan
termasuk bid’ah, sebagaimana yang dituduhkan oleh kalangan literal.
Sebab menisbatkan satu tujuan kepada syari’at sama halnya dengan
menisbatkan suatu hukum atau khitob kepada Allah dan Rasul-Nya, di mana
syari’at adalah miliknya maka tujuannya pun menjadi otoritasnya”.[7]
Dalam Al Qur’an dijelaskan: “…….dan (mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui” [8], dalam ayat lain juga ditegaskan “Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya”.[9]
Kemudian, sebagai antisipasi terjadinya klaim maqasid syari’ah tanpa
memiliki sandaran dalil, maka para maqasidiyin menetapkan beberapa cara
untuk mendeteksi maqasid syari’ah, seperti At Tansis (penegasan teks), Al
Istiqra’ (penelitian), Al Ijma’ (konsesus) dan lain-lain yang sudah
dibahas dalam pertemuan sebelumnya.
-
Tartib
Al Masalih Wa Al Mafasid
Yaitu “penertiban level kemaslahatan dan kemafsadatan”, yang paling
perhatian terhadap kaidah ini adalah Izzudin Bin Abdus Salam dalam bukunya
“Qawaid Al Ahkam Fi Masalih Al Anam”, dan muridnya Syihabuddin Al Qarrafi dalam
bukunya “Al Furuq”.
Izzudin berkata: “Kemaslahatan dan kemafsadatan masing-masing
memiliki tingkatan yang berbeda, atas dasar variasi tingkatan, berfariasi pula
tingkatan keutamaan di dunia dan pahala di akhirat, begitu juga dosa dan
hukumnya di dunia dan akhirat”.[10]
Kaidah urutan kemaslahatan dan kemafsadatan ini menurut Syihabuddin
Al Qarrafi telah disinggung dalam Al Qur’an, yaitu firman Allah SWT; “serta
menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan [11], ayat ini menjelaskan bahwa kemaksiyatan (kemafsadatan) terbagi
menjadi tiga level, yaitu : kufur, fasik dan tidak ta’at”.[12]
Atas dasar kaidah ini, Izzudin Bin Abdus Salam kemudian mencetuskan
kaidah fiqih “syariat menghasilkan kemaslahatan yang paling tinggi dengan
mengorbankan kemaslahatan yang paling bawah, sebagaimana mencegah kemafsadatan
yang paling bahaya dengan melakukan kemafsadatan yang paling ringan”.[13]
-
At
Tamyiz Baina Al Maqasid Wa Al Wasa’il\
Al Wasa’il adalah bentuk jamak dari kata Ál Wasilah
yang bermakna sesuatu yang menjadi perantara untuk mencapai tujuan.[14]
Ibnu Qayyim berkata: “ Pada saat tujuan tidak bisa dicapai kecuali
dengan perantara sebab dan jalan yang menyampaikan kepadanya, maka sebab dan
jalan tersebut mengikuti tujuan..wasilah kemaksiyatan dan sesuatu yang haram
ikut dilarang dan diharamkan, wasilah ta’at dan sesuatu yang halal ikut
diperbolehkan dan dihalalkan, maka wasilah mengikuti hukum tujuan”.[15]
Senada dengan statemen di atas, Al Kasani – dari ulama madzhab
Hanafi – berkata: “Sesuatu yang menjadi perantara sesuatu yang lain, maka
mengikuti hukumnya”.[16]
Namun demikian, Syihabuddin Al Qarrafi dan Ahmad Raisuni
mengingatkan bahwa posisi Al Wasa’il (perantara) tetap di bawah Al
Maqasid (tujuan), walaupun ia mengambil hukum dan sifat yang sama.[17]
Imam Al Ghazali berkata: “Wasilah mengambil hukum dan sifat maqasid
hanya karena ia mengikutinya dan tidak berdiri sendiri”.[18]
Ahmad Raisuni menegaskan: “Sesuatu yang mengikuti sesuatu yang lain,
sebagaimana ia mengambil kedudukan yang diikutinya, ia pun harus – dan masih
tetap – di bawah derajat/tingkatan dari yang diikutinya, kalau keduanya
sejajar, maka tidak ada lagi yang mengikuti dan yang diikuti”.[19]
II. Kaidah
Khusus
Pada sub judul
ini, akan dijelaskan beberapa kaidah maqasid syari’ah yang bersifat khusus,
yaitu kaidah-kaidah yang terkait dengan masalah tertentu, seperti tujuan
menghasilkan kemaslahatan, tujuan mencegah kemafsadatan, tujuan meminimalisir
kesulitan, tujuan mengantisipasi hasil yang tidak diinginkan dll.
Abdurrahman Al
Kailani mendefinisikan kaidah semacam ini dengan : “Sesuatu yang diambil dari
makna umum, diintisarikan dari beberapa dalil syar’i, kemudian syari’at
berkehendak merealisasikannya melalui hukum-hukum yang ditetapkannya”.[20] Di antara kaidah-kaidah yang termasuk katagori khusus adalah:
-
As
Syari’ Lam Yaqsud At Taklif Bi As Syaq Wa Al I’anat
“Melalui pembebanan, syariat tidak bermaksud membuat sulit dan
susah”, kaidah ini dipopulerkan oleh Abu Ishak As
Syathibi,[21] ia mengingatkan bahwa yang dimaksud dengan kesulitan di sini adalah
sesuatu yang di luar batas kemampuan manusia, adapun yang masih dalam lingkup
kewajaran, maka syari’at tidak menganggapnya sebagai masalah.[22]
Di antara landasan kaidah ini adalah dalil Al Qur’an, yaitu firman
Allah SWT; “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”[23], firman Allah SWT; “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu”.[24]
Dalil As Sunnah, yaitu hadits; “Saya telah diutus dengan misi
kemudahan dan toleransi,[25] dan sabda Rosulullah “Bawalah kabar baik jangan kabar buruk dan
permudahlah jangan mempersulit”.[26]
Pada kaidah maqasid ini, para fuqoha’ (pakar fikih) kemudian
menyandarkan beberapa kaidah fikihnya, seperti ; “Al Masyaqat Tajlib At Taisir”
(kesulitan menarik hukum kemudahan) dan kaidah “Idza Dloqo Al Amru Ittasa'”
(apabila sesuatu menjadi sempit maka ia bisa diperlebar).[27]
-
An
Nadzar Fi Al Ma’al Mu’tabarun Syar’an
Yaitu “Efek sebuah tindakan diperhatikan oleh syari’at”. Dalam ushul
fikih kita mengenal dalil sad adzara’i wa fathuha (memblokir dan membuka
jalan), dalil ini erat berhubungan dengan kaidah ini. Sebuah kaidah yang
redaksinya ditegaskan secara eksplisit oleh Abu Ishak As Syatibi dalam bukunya
Al Muwafaqat.[28]
Secara sederhana, segala tindakan yang diperbolehkan oleh syari’at
maka hukumnya adalah boleh, begitu juga tindakan yang dilarang oleh syari’at
maka diharamkan. Namun pada kondisi tertentu, efek atau muara suatu tindakan
dapat mempengaruhi dan merubah status hukum dari suatu tindakan.
Sebagai contoh; menjual buah anggur hukumnya boleh, akan tetapi
ketika dijual kepada perusahaan yang memproduksi minuman keras, maka hukum jual
beli menjadi haram, karena dikhawatirkan akan dijadikan bahan produksi sesuatu
yang diharamkan, oleh karena itu ulama melandaskannya pada dalil sad adz
dzara’i (memblokir jalan) yang tidak lain merupakan kepanjangan dari kaidah
maqasidiyah ini.[29]
-
Kullu
Qasdin Yukhoifu Qasda As Syari’ Fahua Bathil
Istilah lain dari kaidah ini adalah; “Dlarurat At Tawafuq Baina
Maqasid Al Mukallaf Wa Maqasid As Syari’ “ (singkronisasi antara tujuan
mukallaf dengan tujuan syari’).[30]
Yusuf Al Badawi menegaskan bahwa maqasid as syari’ (Allah dan
Rasul-Nya) adalah sebagai barometer dari maqasid al mukallaf (para
hamba), artinya dalam kondisi apapun keduanya harus selaras.[31]
Nuruddin Al Khadimi mengkaitkan kaidah ini dengan kasus fikih,
kemudian ia memberikan beberapa contoh, di antaranya adalah pelarangan nikah
mut’ah dan konspirasi nikah muhallil. Yang pertama dilarang karena niat
pernikahan hanya untuk memenuhi syahwat birahi, dan yang kedua karena niatnya
hanya "akal-akalan” untuk membolehkan perempuan rujuk kembali dengan
mantan suaminya yang telah mentalak tiga. Ini semua bertentangan dengan maqsad
az zuwaj (tujuan pernikahan) yaitu membina rumah tangga yang langgeng dan
menciptakan regenerasi umat manusia.[32]
Untuk memperkuat eksistensi kaidah ini, Abu Ishak As Syatibi
berkata: “Manusia diciptakan untuk beribadah kepada sang khalik, hal ini
berarti kembali kepada perbuatan yang sesuai dengan tujuan Allah dan Rasul-Nya.[33]
Penutup
Dua katagori
kaidah maqasid syari’ah berupa kaidah umum dan khusus, adalah istilah yang
digunakan oleh maqsidiyin untuk membedakan antara kaidah yang terkait dengan
kerangka pemikiran maqasid (kaidah umum) dan kaidah yang terkait dengan
kaidah-kaidah fikih (kaidah khusus).
Penyebutan
kaidah-kaidah dari dua katagori di atas – dalam makalah ini – hanya sebagai
contoh saja, karena masih banyak al qowa’id al maqasidiyah yang tidak
disebutkan di sini, hal ini bisa dilihat lebih detail pada referensinya,
seperti: “Al Qowa’id Al Maqasidiyah Wa Atsaruha Fi Al Ijtihad Al Fiqhi “ karya
Abdul Majid Al Ghanduri, “Qowa’id Al Maqasid Inda Al Imam As Syatibi” karya
Abdurrahman Al Kailani, dan “Al Fikr Al Maqsidi, Qowa’iduhu Wa Fawaiduhu” karya
Ahmad Raisuni.
[27] Al Mantsur Fi Al
Qawa'id, Az Zarkasy:1/120, dan Al Asbah Wa An Nadzair, Abdurrohman As
Syuyuti:1/76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar